Rabu, 12 Maret 2008

Subchan Z.E. Tokoh Muda Aneka Citra



Oleh M. Said Budairy*


Pak Munasir, Pak Yusuf Hasyim, Mas Hamid Baidlowi dan saya menggunakan mobil VW Combi meluncur meninggalkan kediaman Ibu Wahid Hasyim di Taman Matraman 8, Jakarta Pusat. Muslich Hasbullah (almarhum) yang mengemudikan. Dua orang mahasiswa ikut serta, Umar Wahid dan Rozy Munir. Waktu itu sekitar pukul 20.00 tanggal 5 Oktober l965. Mobil menuju ke rumah di jalan Banyumas no. 4, menjemput Mas Subchan Z.E. Dengan tambahan penumpang Mas Subchan perjalanan kami lanjutkan menyusuri jalan Diponegoro, jalan Thamrin dan jalan Merdeka Barat. Sepanjang perjalanan sunyi senyap, karena jam malam berlaku mulai pukul 18.00. Tujuan kami gedung RRI yang sempat diduduki oleh pemberontak tapi segera berhasil direbut kembali.
..isi dari sebagian artikel
Penumpang dan mobil kami sempat dihadang perajurit TNI di depan gedung RRI. Setelah kami jelaskan siapa kami dan maksud kedatangan ke RRI, di pintu gedung setasiun radio terbesar itu kami diterima oleh Kolonel Sugandhi dan Kapten Yusuf Sirath. Dua perwira dari Puspen AD yang bertugas menguasai RRI.Kemarennya, tanggal 4 Oktober l965, Mas Subchan, wakil ketua IV PB Partai NU, memimpin rapat umum bertempat di Taman Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta. Rapat umum menuntut agar diambil tindakan tegas terhadap para penggerak dan pelaku G-30-S/PKI.
Rapat umum diselenggarakan oleh Kesatuan Aksi Pengganyangan (KAP) G-30-S/PKI yang didirikan oleh Mas Subchan bersama Harry Tjan Silalahi (dari Katolik) dan Lukman Harun (dari Muhammadiah). Rapat umum itu sepertinya sebagai komando dilaksanakannya aksi-aksi massa pengganyangan G-30-S/PKI, di mana-mana . Mahasiswa bergerak di bawah bendera KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).Berbagai kesatuan aksi berdiri. KAPPI (pemuda-pelajar), KAPI (pelajar), KASI (sarjana), KABI (buruh), KAWI (wanita) dan sebagainya. Mas Subchan, Lukman Harun dan Harry Tjan Silalahi dan kawan-kawan mendirikan Front Pancasila sebagai wadah komunikasi orpol, ormas yang anti PKI dan semua kesatuankesatuan aksi
Tampil mewakili PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), ormas mahasiswanya NU, M. Zamroni. Ketika itu ia mahasiswa IAIN yang kemudian duduk dalam Presidium KAMI. Di dalam KAMI berhimpun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan sebagainya.
Apa yang terungkap di atas adalah bagian dari episode NU menghadapi hari-hari pertama peristiwa G-30-S/PKI. Lima hari sebelum kami datang ke gedung RRI tersebut, tepatnya tanggal 30 September l965, diselenggarakan rapat Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor. Tempatnya meminjam ruangan di lantai atas gedung (lama) PBNU. Gedung itu lokasinya hampir berhadapan dengan gedung CC PKI yang bertingkat banyak. Acaranya membicarakan masalah-masalah aktual, menelaah perkembangan situasi terakhir.Salah seorang peserta rapat, Barmawi Alwi (almarhum) melempar pertanyaan apakah diantara anggota pucuk pimpinan Ansor ada yang mendengar seputar kabar tentang adanya Dewan Jenderal. Tidak ada respons yang definitif, sehingga isu tersebut tidak berlanjut menjadi bahan pembicaraan dalam acara "dan lain-lain" rapat itu.
Selesai rapat di Kramat Raya 164 itu, saya pulang menyusuri jalan Kramat Raya, perempatan Senin menuju ke daerah Tanah Tinggi. Rumah sewaan saya sekeluarga di daerah Galur, Tanah Tinggi, tidak terlalu jauh dari tempat kediaman Sekretaris Jenderal CC PKI DN Aidit. Jalanan lengang, karena jarum jam menunjukkan angka 01.40.
Pagi harinya, sekitar pukul 07.00, agak bingung saya memahami siaran berita RRI. Saya tunggu berita ulangan pukul 08.00. Kesimpulan saya ada kudeta, ada perebutan kekuasaan. Siaran radio tersebut menyebutkan adanya gerakan di dalam tubuh Angkatan Darat, yang bertujuan melawan Dewan Jendral dan melindungi presiden Soekarno. Gerakan tersebut dikepalai Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa, resimen pengamanan kepala negara. Berita RRI berlanjut dengan pembacaan pengumuman tentang terbentuknya Dewan Revolusi yang dikepalai oleh Kolonel Untung. Ada bagian pengumuman yang menyatakan beberapa jenderal dan tokoh politik diamankan.Saya bergegas keluar rumah.
Dengan mobil Mazda "kotak" bekas pakai panitia Ganefo (Games of The New Emerging Forces) yang dikreditkan kepada anggota DPR-GR, saya menyusuri jalanan Jakarta. Berkibar di mana-mana bendera RRC, disamping merah putih. Hari itu, 1 Oktober, peringatan hari revolusi Republik Rakyat Cina. Tujuan saya mengecek kebenaran adanya tokoh-tokoh yang diamankan untuk memperoleh gambaran apa sebenarnya yang sedang terjadi dan siapa berhadapan dengan siapa.Pertama yang saya tuju kediaman ketua umum PBNU, KH Idham Chalid, di jalan Mangunsarkoro. Ternyata tidak terlihat ada sesuatu yang istimewa, sepi-sepi saja. Perjalanan saya arahkan ke jalan Latuharhary, menuju rumah Jenderal Ahmad Yani. Jalanannya ditutup dan dijaga beberapa orang prajurit Angkatan Darat. Beralih saya menuju ke jalan Tengku Umar, tempat kediaman Jenderal AH Nasution. Sama, jalanan ditutup. Saya mengarah ke lapangan Monas. Di tempat terbuka yang luas itu, begitu banyak tentara berkelompok-kelompok dengan mengenakan tanda pita di bahunya. Sampai saat itu belum jelas bagi saya, siapa dan di pihak mana mereka.
Sejumlah pimpinan Ansor, antara lain Yusuf Hasyim, M. Munasir, Chalid Mawardi, Mahbub Djunaidi, berkumpul di Jalan Cut Mutiah No. 1, Jakarta Pusat. Tempat Yusuf Hasyim dan Munasir menginap jika sedang di Jakarta. Diskusi kami lakukan mencoba menganalisis perkembangan keadaan. Kemudian kami sepakat menyebar dan berjanji jumpa lagi malam hari. Malam itu, benar kami berkumpul kembali . Tempatnya di kediaman ketua pengurus wilayah Ansor DKI Jakarta, di daerah Klender. Lokasinya agak sedikit di luar pusat kota. Dari hasil "operasi intelejen" yang kami lakukan, semakin jelas siapa yang sedang bertingkah berhadapan dengan kekuasaan yang syah.
Konfirmasi kami peroleh bahwa pencantuman nama-nama tokoh yang punya kaitan dengan NU, termasuk nama ketua PP Muslimat NU Ibu Mahmudah Mawardi, tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.Pagi tanggal 2 Oktober kami masuk kota lagi, langsung ke tempat kediaman Ibu Wahid Hasyim. Koran pagi, kecuali beberapa yang tidak terbit seperti Duta Masyarakat, memperjelas peta keberpihakan. Koran-koran kiri seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur, tampak jelas dari politik pemberitaan dan editorialnya berpihak pada gerakan 30 September itu.Terbunuhnya beberapa orang jenderal sudah tersiar luas. Kediaman Ibu Wahid kemudian disediakan untuk kami jadikan "posko" sekaligus tempat "pengungsian".
Ketika itu ada rasa aman bertetangga jenderal. Ibu Wahid bertetangga dengan Jenderal Alamsyah (almarhum) yang di depan kediamannya diparkir mobil lapis baja dan penjagaan 24 jam oleh perajurit TNI.Di "pos komando" di Taman Amir Hamzah itu tersusun pernyataan PBNU. Setelah memperoleh persetujuan eksponen-eksponen PBNU yang berwenang, yang membubuhkan tandatangannya di atas pernyataan tersebut, kami sepakat untuk mengumumkannya lewat RRI. Untuk merealisasikannya kami jemput Mas Subchan ZE, wakil ketua IV PBNU, yang sehari sebelumnya memimpin rapat umum menggerakkan massa menentang gerakan 30 September. Kami ajak beliau ke gedung RRI untuk mengumumkannya. Tadinya kami ingin mas Subchan langsung membacakan pernyataan itu. Tapi oleh beberapa pertimbangan dari pihak RRI, petugas RRI yang membacakan full teks.Untuk mengusir rasa sunyi yang mencekam dalam perjalanan pulang dari gedung RRI, kami sempat riuh bercanda. Kami antar kembali Mas Subchan ke tempat kediamannya.
Sesampai di posko, kediaman Ibu Wahid Hasyim, kami masih sempat mendengarkan pembacaan pernyataan PBNU melalui RRI siaran pukul 21.00. Isi pernyataan NU menegaskan keyakinannya, bahwa otak dan penggerak G-30-S adalah PKI. Sebab itu NU memohon kepada Presiden Soekarno agar membubarkan Partai Komunis Indonesia.***
Mas Subchan di mata saya adalah colorful young leader. Ia seorang tokoh muda aneka citra. Bukan saja penuh semangat, tapi sekaligus mengandung daya tarik, rada eksentrik, penuh warna dan mengasyikkan.Saya tidak banyak tahu 'habitat' aslinya sebelum aktif langsung pada pucuk pimpinan Partai NU. Tapi yang jelas, Mas Subchan dengan lingkungan pergaulannya yang luas, kiprahnya di dunia ekonomi "modern", kedekatannya dengan orang-orang muda terdidik yang berasal dari berbagai kelompok, merupakan ciri-ciri yang membedakan dengan umumnya tokoh NU.
Nahdlatul Ulama, walaupun telah menjadi partai politik (sejak l952), nilai-nilai tradisional dan keagamaannya tetap dipelihara. Berada di lingkungan seperti itu Mas Subchan tetap saja dengan gaya hidupnya sendiri. Dia pernah dischors dari keanggotaan partai NU gara-gara gaya hidupnya. Walaupun saya ketahui latar belakang utamanya persaingan politik, baik internal maupun berhadapan dengan lawan politik di luar, tapi keputusan resmi PB Syuriah NU tanggal 20 Agustus l966 yang menskorsnya selama 3 bulan, alasan formalnya karena ia dianggap suka berdansa-dansi dengan perempuan bukan mahromnya. Pernah juga schorsing jatuh disertai dengan adanya pembuktian sebuah foto dia sedang berdansa.Terasa ada pertentangan batin di kalangan para kiai dan sebagian cabang NU setelah keputusan schorsing terhadap Mas Subchan dijatuhkan. Ada sejumlah surat masuk kepada PBNU yang mendesak agar keputusan tersebut ditinjau kembali.
Pertentangan batin dan keberatan-keberatan itu bersumber dari dua sisi yang berhadapan. Satu sisi menyadari kebutuhan NU akan kader intelektual yang potensial sekaligus punya sikap-sikap politiknya yang "maju" dan berwawasan jauh ke depan, di sisi lain sebagian orang sulit menerima begitu saja gaya hidup Mas Subchan. Sebab itu, kendati sempat dischors, posisinya di dalam partai tidak begitu saja berantakan.
Pendukungnya masih banyak juga, termasuk diantaranya dari sebagian kalangan kiai berpengaruh besar.Tahun l967, dalam Muktamar Partai NU di Bandung, Mas Subchan mencoba tampil dalam persaingan merebut jabatan ketua umum Pengurus Besar Partai NU. KH Idham Chalid ternyata tak tergoyahkan. Dari 336 suara di muktamar, 306 dikantongi Pak Idham. Hanya 19 diperoleh KH Dahlan. Mas Subchan memperoleh 9 suara dan calon lainnya, Pak Sjaichu memperoleh 2 suara.Mas Subchan menjadi anggota MPRS dan menduduki jabatan sebagai salah seorang wakil ketua.
Dalam kiprah politiknya, terkesan dia punya pandangan tersendiri yang oleh sebagian kalangan NU dianggap sebagai "garis keras", radikal. Khususnya dalam berhadapan dengan sikap-sikap yang dibawakan wakil fraksi ABRI. Sidang MPRS tahun l968 yang menetapkan Pj. Presiden Soeharto menjadi Presiden RI, walaupun sudah diperpanjang 3 hari tapi tetap saja tidak berhasil mencapai kesepakatan atas rumusan GBHN. Sebagai alternatifnya, MPRS mengeluarkan ketetapan yang berisi garis besar tugas Kabinet PembangunanPosisi Mas Subchan semakin kuat di lingkungan partai NU.
Memasuki Muktamar Partai NU ke 25 di Surabaya tahun l971, kembali dia berhadapan dengan Pak Idham yang juga semakin bagus posisinya. Pak Idham lebih dekat dengan kekuasaan Ia telah "terpilih" sebagai ketua DPR/MPR. Untuk kedua kalinya dalam persaingan, Mas Subchan tidak berhasil merebut jabatan ketua umum. Bukan hanya dalam hitungan suara, tapi juga berhadapan dengan semacam "hak veto" dari pimpinan Majelis Syuriah.Tindakan Mas Subchan yang saya rasakan "luar biasa" adalah ketika PBNU menegur PP PMII. Saya tidak ingat persis tahunnya, tapi peristiwanya adalah dies natalis PMII yang diselenggarakan cabang Bandung. Mahbub Djunaidi dan saya hadir pada acara itu mewakili pimpinan pusat. Acara dies natalis tersebut dimeriahkan dengan band yang mengiringi lagu-lagu para penyanyi dan menyajikan lagu-lagu instrumentalia.
Agaknya ada yang kurang senang di lingkungan NU dengan penyelenggaraan peringatan ulang tahun seperti itu. Tidak lama setelah peristiwa itu, PP PMII menerima surat teguran dari PBNU sekali gus peringatan agar jangan lagi menyelenggarakan perayaan disertai dengan iringan musik band seperti di Bandung itu. Dan ketua PBNU yang menandatangani surat teguran dan peringatan itu Mas Subchan. Kami menerima surat itu serasa diajak bercanda oleh PBNU.Sayang, perjalanan 'colorful young leader' ini segera terhenti oleh takdir.
Terenyuh hati mendengar kabar Mas Subchan mengalami kecelakaan mobil ketika melakukan perjalanan haji. Beberapa hari dirawat di rumah sakit, kemudian meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ma'la, Makkatul Mukarromah. Inna lillahi wa inna ilahi raji'un. Khusnul khotimah, insyaallah.


---------------------------------------------------------* Tulisan ini dibuat dalam rangka penerbitan buku biografi Subchan Z.E. Ditulis pleh M. Said Budairy, lahir di Singosari, Malang, 12 Maret l936. Dia adalah mantan aktifis organisasi IPNU, PMII, Gerakan Pemuda Ansor, KNPI, Nahdlatul Ulama, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Mantan wartawan Duta Masyarakat (lama), Pedoman, Pelita dan penulis tetap Republika. Mantan anggota DPR-GR/MPRS dan MPR-RI. Sekarang, anggota Dewan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), anggota Lembaga Sensor Film (LSF), Ombudsman majalah kajian media dan jurnalisme PANTAU dan anggota Badan Pendiri Yayasan Forum Indonesia Satu (FIS) ).

Tidak ada komentar: