Rabu, 12 Maret 2008

Mengenang Mahbub Djunaidi



Oleh M. Said Budairy
L ebih 12 tahun sudah, tanggal 1 Oktober l995 yang lalu, H. Mahbub Djunaidi meninggalkan kita semua kembali ke haribaan Tuhannya. Banyak kenangan yang dia tinggalkan. Seperti keperibadiannya yang ringan ceria, kocak berolok-olok, menganggap semua orang adalah sesamanya. Juga pandangan-pandangan dan sikap-sikapnya di banyak bidang kehidupan.
..
Mahbub tadinya berkeinginan menjadi sastrawan. Ia tertarik pada sastra Rusia. Tapi perjalanan hidupnya mengantarkan dirinya menjadi wartawan dengan gaya tulisannya yang khas. Mengantarkannya menjadi politisi dan tokoh organisasi profesi dan ormas keagamaan.
Sebagai wartawan ia pernah memimpin sebuah suratkabar. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dia juga kolomnis di banyak penerbitan pers. Salah satunya dan yang paling istiqomah di harian Kompas.
Jakob Oetama, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kompas yang kenal secara pribadi, mengamati Mahbub mencapai formatnya yang optimal sebagai wartawan, justru ketika ia bebas dari beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat dan sebagai aktivis partai atau keorganisasian lainnya. Mahbub menulis untuk rubrik Asal-Usul harian Kompas selama 9 tahun tanpa jedah, sambil masih juga diminta penerbitan pers lainnya menulis topik-topik tertentu. Sebagian tulisan-tulisannya, lebih dari 100 judul telah diterbitkan menjadi buku 'Mahbub Djunaidi Asal Usul'. Memberikan pengantar pada buku tersebut Jakob Oetama menulis, pengalaman dan pertumbuhan Mahbub Djunaidi itu mengajarkan kepada masyarakat pers. Wartawan dan kewartawanan tumbuh bukan karena seseorang menjadi pimpinan sebuah penerbitan pers, melainkan karena ia menulis berita dan membuat ulasan atas kejadian serta permasalahan, karena kreativitas dan karya tulis serta produk jurnalistik lainnya. Ia berharap buku tersebut ikut memperkaya kepustakaan jurnalisme Indonesia serta sekaligus membangun tradisi bahwa warisan yang berharga adalah karya.
Maret l994, satu setengah tahun sebelum ia meninggal dunia, tabloid Detik mengirim wartawannya Saifullah Yusuf (sekarang Ketua Umum PP Pemuda Ansor dan anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI) bersama seorang seorang wartawan lainnya untuk mewawancarai Mahbub. Dia ditanya tentang masalah suksesi kepemimpinan nasional, "Mengapa tidak etis membicarakan suksesi?. Suksesi bukan masalah etis tidak etis. Tapi masalah bagaimana kehidupan kita bersama di waktu mendatang. Saya setuju membicarakan pembatasan masa jabatan Presiden, karena orang yang terlalu lama menjabat, cendrung menyalahgunakan kekuasaannya karena terlanjur mapan," ujarnya. Waktu itu, 5 tahun sebelum memasuki era reformasi, amat tabu bicara perkara suksesi kepemimpinan nasional. Mahbub tidak perduli, kendati sudah pernah masuk rumah tahanan..
Mahbub Djunaidi salah seorang yang dikenal baik oleh Presiden Soekarno. Dialah yang mula-mula menulis, bahwa Pancasila lebih sublim dari Declaration of Independence-nya Thomas Jefferson dan Manifesto Komunis-nya Karl Marx dan Friedrich Engels. Bung Karno memidatokan di banyak kesempatan, bahwa Pancasila adalah sublimasi dari deklarasi dan manifesto tersebut.
Tentang kedekatannya dengan Bung Karno, dia bilang Bung Karno memang dekat dengan banyak orang. Beliau orangnya terbuka, tidak birokratis. Maka dulu, kapan saja kita bisa berdiskusi dengan beliau berjam-jam. Ia mengagumi Bung Karno karena presiden yang satu ini memiliki visi yang jelas. Jangkauan pemikirannya jauh ke depan. Dan mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasannya secara luar biasa. Dan gagasan Bung Karno yang terpenting menurut Mahbub, komitmen yang kuat terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. "Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang. Selain itu Bung Karno memiliki keperdulian yang besar terhadap kehidupan rakyat kecil. Beliau itu dekat dengan rakyat," ujar Mahbub. Dia tidak melihat Soekarno otoriter. Hanya gaya kepemimpinannya berapi-api.
Kepada anak-anak Soekarno, Mahbub menyatakan sesekali ia bersurat-suratan dengan Guntur, tapi tidak intens. Menurutnya, di antara anak-anak Bung Karno, yang paling kuat potensi kepemimpinannya adalah Guntur. Sayangnya dia tidak mau terjun ke politik. Dengan Rachmawati dia sering berkomunikasi melalui surat atau bertemu langsung jika sedang ke Jakarta (Mahbub terakhir berdomisili dan meninggal dunia di Bandung). Menurut Mahbub, dari segi pemikiran Rachmawati paling dekat dengan pemikiran bapaknya. Sampai sekarang dengan YPS (Yayasan Pendidikan Soekarno)-nya, dia masih terus konsisten dengan ideologinya itu. Barangkali secara politis kelihatannya dia kaku. Itu karena keteguhannya terhadap prinsip-prinsip yang diyakininya. Tapi secara pemikiran ideologis dia paling matang.
Mahbub sempat ditanya oleh pewawancara, apakah ia melihat Megawati bisa sebesar Bung Karno. Menurut Mahbub, kalau melihat kemampuannya Mega tidak bisa disamakan dengan Bung Karno. Juga, Mega itu lemah lembut sedangkan Bung Karno berapi-api.
Mahbub memasuki lingkungan Nahdlatul Ulama pertama-tama karena ayahnya seorang tokoh NU DKI Jakarta. Dia bergabung melalui organisasi pelajarnya, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Berlanjut menjadi Ketua Umum (pertama) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kemudian menjadi salah seorang Ketua Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor. Ke tiga organisasi tersebut merupakan organisasi-organisasi kader yang melahirkan pemimpin-pemimpin organisasi NU, di pusat maupun daerah-daerah. Dari PP Pemuda Ansor Mahbub masuk ke dalam jajaran pimpinan NU menjadi Wakil Sekjen, kemudian menjadi salah seorang Ketua PBNU dan terakhir sebagai salah seorang Mustasyar/Penasehat PBNU. Dia tetap diingat oleh generasi-generasi sesudahnya, karena karya-karyanya yang konkrit dalam berbagai posisi dan jabatan keorganisasian tersebut.
Mahbub tergolong tokoh NU yang menginginkan NU kembali menjadi partai politik. Ia termasuk tokoh penggembos PPP, karena melihat orang NU dalam PPP dipojok-pojokkan terus oleh H.J. Naro, ketua umum PPP dari MI waktu itu. Ia menyatakan siap terjun kembali ke dunia politik praktis jika NU kembali jadi partai. Ini diucapkannya menjawab pertanyaan wartawan yang mewawancarainya, pada bulan Maret l994.
Ketika menjelang Muktamar PPP terdengar bahwa Abdurrahman Wahid banyak dapat dukungan untuk menjadi Ketua umum PPP dan reaksi Gus Dur-pun tidak serta merta menolak, Mahbub bilang, Gus Dur jangan jadi Ketua Umum PPP. Sebab kalau itu dilakukan , dia tidak konsisten. Kan dulu dia juga yang menentang Yusuf Hasyim jadi ketua umum PPP.
Alasannya kenapa dia berkeinginan agar NU kembali menjadi partai politik, karena NU jumlah umatnya sangat besar. Itu merupakan potensi politik yang penting. Juga, sejak kelahirannya NU selalu bersentuhan dengan politik. Karena itu mengapa NU tidak berpolitik secara langsung saja ?. Mahbub, dalam kaitan kembali ke khittah NU l926, menginginkan kembali ke Khittah NU l926 plus. Dan plusnya ya politik itu.
Di sekitar waktu Pemilu l977, Mahbub banyak menerima undangan untuk berbicara di Jakarta dan daerah-daerah. Dia juga keluar masuk kampus, memenuhi undangan para mahasiswa. Iapun banyak bicara tentang suksesi kepemimpinan nasional menjelang SU-MPR l978. Dan akibatnya Mahbub ditangkap, ia disimpan di rumah tahanan Nirbaya. Dari Nirbaya dilanjutkan menjadi pasien tahanan di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Hampir setahun mendekam tanpa diproses lewat pengadilan, sehingga tidak jelas pula kesalahannya apa. Dia mulai terus sakit-sakitan sekeluarnya dari tahanan pemerintahan Soeharto tersebut.
Mahbub Djunaidi telah tiada ketika Abdurrahman Wahid (ketika itu menjabat Ketua Umum PBNU) bersama beberapa orang tokoh NU mendeklarasikan lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa. Gus Dur tidak menjadi ketua umumnya, tapi Matori Abdul Jalil. Dalam muktamar pertama PKB, Gus Dur juga tidak mnyediakan diri menjadi ketua umum, melainkan memilih menjadi ketua Dewan Syuro PKB, yang bewenang menunjuk siapa yang menjadi ketua umum PKB.
Sementara tokoh NU lainnya, K.H. Yusuf Hasyim, mendeklarasikan Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan K.H. Syukron Makmun mendirikan Partai Nahdlatul Umat (PNU). Ketiga partai tersebut, PKB, PKU dan PNU berbasis warga NU. Ormas Nahdlatul Ulama sendiri, jika berpegang teguh pada khittahnya, seharusnya tidak punya hubungan organisatoris, terselubung atau terang-terangan dengan ketiga partai politik tersebut. Sebaliknya, NU harus merelakan warganya memasuki partai-partai yang manapun.
Kalau saja Mahbub memperoleh kesempatan dan bersedia menduduki suatu jabatan resmi pemerintahan, agaknya dia akan terjauh dari berbagai libatan skandal atau gate-gate itu. Pandangan Mahbub tentang kebendaan, tercermin dalam surat kepada keluarganya yang dikirim dari Rumah Sakit Gatot Subroto. Mahbub menulis, "Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai (kamar rumah sakit-pen).Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan. Benda sama sekali tidak menjamin kebahagiaan hati. Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun juga. Papa orang yang banyak makan garam hidup. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan." (M. Said Budairy, wartawan/Direktur Lakpesdam PBNU 1989 - 1995).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

AMAZING! aku kagum sma bapak yang di usia ini masih bisa bikin satu tulisan yang 'hidup', bahkan bikin blog. Satu lagi.. bapak, kakeknya shaqina kan? x)

Anonim mengatakan...

pak said kalo bisa tolong artikel, tulisan mahbub djunaidi yang belum dicetak, cetak saja. gak pa pa ada kesamaan dengan yang telah dibukukan moga moga bisa terima kasih