Senin, 25 Februari 2008

KHM Yusuf Hasyim - Tegar Tak Kenal Lelah



Oleh M. Said Budairy


Salahudin Wahid (Gus Sholah) kirim SMS tanggal 8 Januari 2007, “Mohon doa. Kondisi Pak Ud menurun. Sekarang masuk ICU. Terimakasih”.
Pak Ud adalah panggilan akrab KHM Yusuf Hasyim. Segera saya balas, “Di ICU mana mas Sholah. Beberapa hari yang lalu nelpon saya sambil cerita kalau habis terjatuh lagi.”.
Komunikasi berlanjut, “RS Dr. Sutomo. Saya kuatir terhadap kondisi Pak Ud. 30 Desember yang lalu mas Dulhak wafat”.
Mas Dulhak saudara sepupu Salahudin Wahid, cucu KH Hasyim Asy’ari. Dia putera dari kakak perempuan KH Wahid Hasyim yang menikah dengah KH Idris dari Cirebon. Saya berteman baik juga dengan dia dan menyesal baru tahu dia wafat setelah lewat seminggu. Melalui SMS kepada Gus Sholah saya minta, ”.... tentang Pak Ud tolong saya terus dikabari. Saya hormat dan sangat mencintai dia”.
..isi dari sebagian artikel..
Seperti yang tergambar melalui percakapan lanjutan lewat telpon sesudah itu, akhirnya saya terima kabar dari Salahudin Wahid pada hari Minggu, 14/01/07, pukul 18.54, ”Pak Ud baru saja wafat. Mohon doa”.
Dengan sedikit bersusah payah akhirnya dari Jakarta saya bisa mencapai Tebuireng tepat ketika jenazah Pak Ud diturunkan ke liang lahat. Berdiri di dekat liang lahat yang sedang ditimbun di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, Jombang, Senin (15/01/07), saya teringat masih menyimpan amanat almarhum. Amanat itu berupa titipan sejumlah kertas kop berikut amplop untuk surat-surat resmi pimpinan pesantren Tebuireng dan scan tanda tangan Pak Ud . Amplop dan kertas surat tinggal beberapa lembar, sedang scan tandatangan masih tersimpan rapi dalam laptop saya sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan ruang kerja di rumah saya dia lengkapi dengan mesin faksimili. Dan dengan pendekatan teknis seperti itu Pak Ud sebagai tokoh nasional dan pimpinan pondok pesantren besar di Jawa Timur, terbantu untuk dapat bergerak cepat dan lincah, terutama ketika menghadapi perkembangan baru dan urusan-urusan di Ibukota Jakarta.
Mustasyar Pondok Pesantren Tebuireng ini lahir di Jombang, 3 Agustus 1929, meninggal dunia karena sakit pada hari Minggu, 14 Januari 2007 pukul 18.40 di Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya. Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat membesuknya sehari sebelum Pak Ud wafat, Sabtu (13/1). Sebelum di RSU Dr Soetomo, Pak Ud dirawat di RSUD Jombang.
Senin pagi hari pemakaman itu, para pelayat memadati halaman pesantren dan seputar makam. Pelayatnya para kiai dari banyak pesantren, warga dan tokoh-tokoh NU termasuk Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi. Hadir pula banyak tokoh politik dari Jakarta. Menteri Agama dan istri terlihat di antara pelayat. Acara pemakaman diwarnai upacara militer. Dalam ketentaraan Pak Ud aktif pada perang kemerdekaan dan penumpasan pemberontakan PKI Madiun. Karangan bunga memenuhi halaman pesantren dan di sekitar makam keluarga. Di antaranya datang dari Pangdam Brawidjaya, Megawati, sejumlah partai politik PKB, PPP, PKS dan sebagainya.
Minggu terakhir Desember sebelum masuk rumah sakit Pak Ud masih sempat menelpon saya, memberitahu tidak bisa memenuhi permintaan untuk mengisi buku biografi KH Basori Alwi (80 tahun), pemimpin Pesantren Ilmu Al Quran, Singosari Malang. Saya bersama sejumlah santrinya Kiai Basori memang sedang menyusun buku biografi tersebut. Dalam bertelpon itu Pak Ud juga bilang kalau baru saja terjatuh lagi di rumahnya. Saya perhatikan, salah satu gejala penyakit Pak Ud suka terjatuh. Dua tahun yang lalu, ketika NU menyelenggarakan muktamar, Pak Ud juga terjatuh di hotel tempatnya menginap. Sempat sebentar dirawat di salah satu rumah sakit di Solo. Kejadian seperti itu berulang dan terakhir yang diceritakan lewat telpon itu.

Aktif di Jakarta
Sekitar tahun l960-an Pak Ud mulai lebih banyak berada di Jakarta. Ia sering menginap di kantor Pemuda Ansor yang waktu itu berlokasi di Jl. Pegangsaan Timur 46, Jakarta Pusat. Yang menetap atau sering ngepos di situ warga NU bekas tentara Pak Munasir Ali (ayahanda mantan menteri Rozy Munir), Pak Ud, seorang veteran biasa dipanggil Mbah Tohir. Juga tokoh-tokoh Ansor seperti AA Murtadho yang kemudian jadi Dubes RI di Bagdad. Chalid Mawardi, yang kemudian jadi Dubes RI di Syria. Aminuddin Aziz yang kemudian jadi menteri dan Dubes RI di Saudi Arabia. Mahbub Djunaidi yang kemudian menjadi anggota DPR, Ketua Umum PMII dan Ketua Umum PWI.. Saya termuda waktu itu. Pergaulan kami begitu akrab, punya minat dan perhatian yang banyak kesamaannya. Anak muda sekarang mungkin menamai kelompok kami ”geng”. Dari tempat itu urusan-urusan Pucuk Pimpinan Pemuda Ansor, Pimpinan Pusat PMII, Perwakilan PP IPNU dan organisasi IKABEPI (Ikatan Keluarga Bekas Pejuang Islam) kami tangani.
Pak Ud tokoh politik yang tegar dan kokoh memegang pendiriannya. Itu dibuktikan ketika menghadapi perubahan besar dalam salah satu penggal perjalanan sejarah bangsa.
Kisahnya, Bung Karno membubarkan Majelis Konstituante pada tanggal 5 Juli 1959 dan mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Berlanjut kemudian membubarkan DPR-RI hasil Pemilu 1955 pada bulan Maret 1960, lalu membentuk dewan baru, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Komposisi keanggotaannya separuh dari partai politik, separuhnya lagi dari golongan fungsional. NU mengajukan Pak Ud menjadi anggota DPR-GR dari unsur fungsional pemuda (ketika itu usianya baru sekitar 30 tahun). Pak Ud menolak, tidak bersedia. Sejumlah tokoh lainnya yang diajukan oleh NU juga menolak.
Ketika itu NU sedang mengalami perpecahan pendapat mengenai keabsahan keikutsertaan dalam DPR-GR. Satu pihak, antara lain KH Bisi Sansuri yang juga salah seorang pendiri NU bersama Kiai Dahlan, Mr. Imron Rosyadi dan KH Ahmad Siddik menolak ikut serta. Kelompok ini menganggap DPR-GR anti demokrasi. Bahkan Kiai Bisri menganggap ikut serta dalam DPR yang tidak seluruhnya dipilih rakyat, bertentangan dengan fiqih.
Di pihak lain KH Wahab Hasbullah, pendiri NU dan masih bersaudara misan dengan Kiai Bisri, menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi NU. Ia memaparkan mulai dari kemungkinan dilarangnya NU hingga keluarnya partai NU dari pemerintahan. Baginya, ummat Islam belum siap untuk menempuh politik konfrontasi dengan penguasa. Sedangkan kalau NU masuk DPR-GR, jika tidak sesuai lagi dengan maksudnya bisa dengan mudah keluar dari dewan tersebut.
Sejumlah dalil menjadi dasar penguat pendirian yang kedua itu. Masuk DPR-GR bertujuan melakukan kontrol dan koreksi terhadap kesalahan yang mungkin dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Artinya menganjurkan yang baik dan melarang yang jelek. Dasar lain yang digunakan kaidah fiqih, dar ’ul- mafasid muqaddamun ’ala jalbil masalih, mengutamakan menghindari bahaya dari pada memperoleh keuntungan dan ma la yatimmul wajib illa bihi fa hual wajib, syarat untuk dapat melakukan kewajiban hukumnya wajib, serta mala yudraku kulluh la yutraku kulluh, kewajiban tidak boleh ditinggal dengan alasan tidak dapat melakukan sepenuhnya.
Perbedaan pendapat itu berakhir dengan kesepakatan menyerahkan kepada warga NU yang terkait untuk memilih salah satu dari dua pendapat tersebut.
Berlangsung hampir 3 tahun kursi yang disediakan untuk Pak Ud di DPR-GR tetap kosong. Sampai akhirnya suatu pagi saya diberitahu oleh KH Saifuddin Zuhri, Sekjen Partai NU, bahwa rapat NU malam harinya memutuskan untuk mengisi kursi kosong tersebut dan mengajukan nama saya sebagai pengganti. Beberapa kali saya memperbincangkan keputusan NU tersebut dengan Pak Ud. Dan akhirnya saya menggantikannya, dilantik sebagai anggota DPR-GR tahun 1963.
Contoh keteguhan Pak Ud memegangi sikapnya lagi yaitu dalam menghadapi PKI. Dia tidak bisa berkompromi dalam menghadapi gerakan politiknya PKI. Pengalamannya yang membikin seperti itu. Dalam berbagai kesempatan Pak Ud suka mengungkap kembali pengalamannya ketika pada 1948 memimpin pasukan ikut berusaha merebut kembali Madiun yang diduduki oleh PKI . Pak Ud sempat menyaksikan dengan matakepala sendiri mayat sejumlah kiai korban keganasan pemberontak PKI di Madiun. Ditambah lagi pengalaman sebagai pimpinan puncak Barisan Serba Guna (Banser) Ansor. Menjelang pertengahan l960-an Pak Ud juga berhadapan langsung dengan gerakan aksi sepihak Barisan Tani Indonesia (BTI)-nya PKI yang menjarah tanah dan sawah para petani yang bukan PKI.
Itu pula agaknya yang menjadi pendorong Pak Ud ketika sudah sakitan masih tidak mau diam. Ada UU tentang Kebenaran dan Rekonsiliasi. Untuk melaksanakannya perlu dibentuk KKR, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Calon anggota KKR sudah terpilih sebanyak 44 orang. Langkah selanjutnya, Presiden harus memilih 22 dari 44 calon tersebut. Tapi oleh Presiden tidak kunjung ditetapkan. Ketika ada pihak yang mendesak agar KKR secepatnya diwujudkan, pihak yang sebenarnya keberatan terhadap UU itu memohon agar Mahkamah Konstitusi menguji UU tersebut apakah tidak melanggar konstitusi. Pak Ud termasuk yang mengajukan permohonan itu, dalam keadaan kondisi kesehatannya sudah payah. Kalau dilaksanakan, UU tersebut bisa membuka peluang bangkitnya lagi PKI. Dan ternyata hasil uji MK menyatakan UU tersebut tidak sejalan dengan konstitusi dan sebab itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum..
Suksesi yang Mulus
Pak Ud sudah berpuluh tahun mengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Delapan bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 13 April 2006, dia menyerahkan tongkat kepemimpinan Pondok Pesantren Tebuireng kepada keponakannya, KH Salahudin Wahid (Gus Sholah). Acara penyerahan digelar bersamaan Tahlil Akbar dan Pertemuan Alumni Ponpes Tebuireng. Dalam kesempatan itu Pak Ud menyatakan, sudah saatnya Ponpes Tebuireng melakukan regenerasi pada pucuk pimpinan. Ini diperlukan agar terjadi proses yang sehat dalam tradisi suksesi. "Itulah sebabnya, beberapa waktu lalu saya mengajukan permintaan pengunduran diri dari pimpinan Tebuireng. Alasannya, karena usia saya pada tahun ini sudah mencapai 77 tahun. Kedua, saya ingin menciptakan tradisi regenerasi pimpinan yang berjalan mulus,'' ujarnya dalam pidato sambutan.
Dengan usia 77 tahun, menurut Pak Ud, dia menjadi pimpinan tertua di kalangan ponpes se-Kabupaten Jombang. ''Dengan pertimbangan itu, saya sudah bulat mengajukan pengunduran diri yang dibahas beberapa kali di internal keluarga besar Bani Hasyim Asy’ari dan internal Pondok Pesantren Tebuireng. Semuanya sepakat dengan pengganti Gus Sholah, yang tidak lain keponakan saya sendiri,'' ujar Pak Ud.
Tidak berapa lama setelah penyerahan pimpinan, Pak Ud juga meninggalkan ''rumah dinas'' yang disebutnya sebagai dalem kasepuhan, yang dulunya rumah pribadi almarhum KH Hasyim Asyari. Dia pindah ke kediaman pribadinya, di Cukir, masih dekat pondok pesantren.
Kepada Gus Sholah, Pak Ud meminta agar istiqamah dan berpegang teguh pada semangat perjuangan pondok yang digariskan mendiang KH Hasyim Asy’ari. Gus Sholah, mengaku siap memimpin pondok dengan sekitar 7 ribu santri tersebut. Dia juga punya keinginan bisa pulang ke Jombang, daerah kelahiranya. ''Karena keinginan itu, saya menolak ketika ditawari menjadi Dubes RI untuk Aljazair. Saya lebih memilih memimpin pondok ini,'' ujarnya.
Dalam silsilah keluarga Bani Hasyim Asy’ari, Gus Sholah merupakan cucu dari pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan pendiri NU tersebut. Dia putra almarhum KH Wahid Hasyim.dan Ibu Solichah binti Bisri Sansuri..
Upacara pemakaman Pak Ud diakhiri penyampaian talkin dan doa oleh KH Maimun Zuber dari Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Penyampaiannya terasa sebagai monolog yang akrab. Disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih dan jernih. Pak Ud yang sudah bersemayam di dalam kubur disebutnya sebagai akhi fillah.
Pak Ud sudah tenang di alam kuburnya. Semoga Allah mengampuni segala dosanya, memaafkan kesalahannya, menerima segala amal baiknya dan memberi tempat yang layak disisi Nya. Amin.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamaualaikum