Senin, 25 Februari 2008

Mengenang Sahabat Fahmi Saifuddin


Oleh M. Said Budairy


Catatan:
Memenuhi permintaan Yayasan Saifuddin Zuhri, saya menorehkan tulisan kenangan dalam buku Dokternya NU. Buku yang diterbitkan untuk mengenang tokoh Dr. Fahmi Dja’far Saifuddin

Rais Syuriah PBNU Irfan Zidni, MA mengatakan, ada tiga sifat yang menonjol pada diri Dr. Fahmi Dja'far Saifuddin, MPH dalam menjalani hidup berkhidmah di tengah masyarakat. Ketiga sifat itu ialah ikhlas, t ekun dan sabar.
Ucapan KH Irfan Zidni itu dikemukakan dalam memberi sambutan sesaat setelah liang lahat ditimbun, tahlil dan talkin selesai dibacakan, pada acara pemakaman Dr. Fahmi Dja'far Saifuddin, MPH pada hari Minggu, 3 Maret 2002, di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.
..isi dari sebagian artikel..
Saya sependapat dengan penilaian yang diberikan oleh KH Irfan Zidni. Jika saya telusuri kembali kenangan lebih dari 30 tahun bergaul dengan almarhum, memang itulah sifat-sifat yang menonjol dalam hidupnya.
Kisah hubungan saya dengan almarhum Fahmi cukup panjang. Semula saya lebih dekat dengan ayahandanya, almaghfurlah KH Saifuddin Zuhri. Selain sebagai kader NU, hubungan saya dengan tokoh besar NU Pak Saifuddin Zuhri lebih dipererat lagi karena hubungan profesi. Saya dipercayai sebagai Wakil Pemimpin Redaksi harian Duta Masyarakat, korannya Partai NU. Beliau Pemimpin Umumnya dan Mahbub Djunaidi Pemimpin Redaksi.
Sebagai ayah, jamak perhatian lebih besar tertumpah pada perkembangan anak pertama. Anak pertamalah yang paling dekat menjadi pengganti dirinya ketika harus meninggalkan dunia fana. Paling dekat menggantikan peran ayah bagi adik-adiknya. Apa lagi Pak Saifuddin Zuhri juga mengidamkan Fahmi tidak sekedar menggantikan dirinya sebagai orang tua adik-adiknya, melainkan sekaligus menjadi penerusnya dalam berkhidmah kepada masyarakat NU dan bangsa.
Paroh kedua tahun l960-an Pak Saifuddin bilang kepada saya, "Tolong, titip-titip Fahmi". Itu diucapkannya ketika Fahmi mulai berkiprah dalam kepengurusan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Pada kesempatan lain, setengah bercanda, Pak Saifuddin bilang kepada Mahbub Djunaidi dan saya, "Beri tahu Fahmi, biar begini-begini saya juga kepingin punya menantu yang cantik". Ketika itu Fahmi sedang mulai memasuki masa berpacaran.
Awal l980-an lagi-lagi Pak Saifuddin berpesan lewat saya, "Saya lebih senang dikenal banyak kalangan karena menjadi ayahnya Fahmi, dari pada Fahmi menjadi terkenal karena dia anak saya. Beritahukan kepada Fahmi"
Beberapa tahun kemudian, ketika baru mulai sakit-sakitan, di lantai bawah gedung (lama) PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Pak Saifuddin bilang, "Keinginan saya agaknya sudah bakal terpenuhi." Ketika itu Dr. Fahmi Dja'far Saifuddin MPH sebagai Ketua PBNU sedang memimpin rapat di lantai dua gedung tersebut.
Suatu ketika saya sudah malas ikut-ikut memikirkan NU, kendati kecintaan saya kepada jamiah ini terekam melalui jenjang keorganisasian paling bawah. Mulai dari menjadi anggota Atfal, Kepanduan Ansor, IPNU, PMII, Gerakan Pemuda Ansor, ikut memimpin korannya Partai NU dan selama 8 tahun menjadi anggota Fraksi NU di DPR-GR. Kenapa ? Karena sejak tahun l973 begitu berfusi politik dalam PPP, “jenis kelamin” NU tidak jelas lagi. NU sebagai partai politik sudah tidak lagi, karena organisasi politik yang dibenarkan keberadaannya hanya Golkar, PPP dan PDI. Fusi politik bersamaan dengan penegasan NU kembali sebagai organisasi kemasyarakatan Islam, tetap saja cuma aktifitas politik yang dikerjakan para tokohnya. Program jamiah, seperti menggalakkan kegiatan pendidikan, kegiatan sosial ekonomi dan keagamaan, tidak juga disentuh dengan semestinya.
Ketika itu sampai-sampai kantor NU “pindah” ke Gedung DPR-RI. Para anggota pengurus besar hariannya hari-hari di situ, karena hampir semua menjadi anggota DPR. Kantor benerannya di Kramat Raya 164, dibiarkan merana. Halaman gedung itu menjadi pangkalan gerobak dorong pedagang kaki lima. Suasana dalam gedung menjadi seperti “rumah hantu”, sarang laba-laba menghiasi berbagai bagian ruangan.
Kantor NU ramai dan sibuk hanya ketika menyongsong pemilihan umum. Ketika memasuki fase penyusunan calon untuk pemilu, ormas ini tiba-tiba saja persis seperti parpol, repot banget menyusun daftar calon. Orang-orang berdatangan dari daerah. Khawatir susunan calon di daerahnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Padahal ujung-ujungnya penentunya DPP-PPP. Bahkan, dalam prakteknya sebagian sangat kecil orang DPP saja yang paling menentukan. Mereka yang punya peluang berselingkuh dengan kekuasaan untuk menyingkirkan dari daftar calon jadi orang yang tidak diinginkan penguasa.
Zaman itu zaman pemilu mudah ditebak. Siapa berada dalam daftar calon antara nomor satu sampai nomor sekian di propinsi A, misalnya, maka pasti akan terpilih menjadi anggota legislatif.
Ketika PBNU sedang porak poranda itulah Fahmi yang punya profesi sebagai dokter dan dosen, “turun tangan”. Orang-orang muda yang dia ketahui sebenarnya sangat concern terhadap hidup dan berkembangnya NU, dia rayu untuk mau kembali beraktifitas bersama membangun NU. Saya termasuk di antara yang dia ajak aktif lagi. Dia lakukan itu tanpa pamrih pribadi, dengan semangat pantang mundur. Tekad dia, kalau saja boleh diterjemahkan singkat, vini, vidi, vici.
Bagaimana cara dia melakukan, antara lain seperti yang saya alami. Pagi sekali, sebelum ke kampus, dia datang ke rumah. Waktu pendek itu, saya juga sedang aktif-aktifnya ikut memimpin harian Pelita sehingga juga harus ngantor, dimanfaatkannya untuk membangun semangatku kembali mikiri dan ngurusi NU lagi. “Nggak cukuplah mas membantu NU dengan hanya menulis berita tentang NU doang,” ujarnya suatu hari. Begitu gigihnya dia, akhirnya saya terlibat penuh. Bahkan juga menjadi fasilitatornya. Diskusi dan rapat-rapat diselenggarakan paling sering di rumah saya. Kelompok yang dibangun Fahmi itu akhirnya dikenal dengan nama Kelompok G, mengambil nama jalan (lama) tempat rumah saya berada. Nama itu Fahmi juga yang mencanangkan.
Ketika itu masih ada Mahbub Djunaidi, masih ada Zamroni, keduanya mantan ketua umum PMII. Keduanya juga digoyang-goyang oleh kelompok ini untuk menaruh perhatian terhadap kondisi NU.
Salah satu “akal” Fahmi lainnya untuk menarik perhatian para tokoh, dibuatnya potret beberapa obyek. Difotonya gedung PBNU dari beberapa sisi, termasuk bagian halamannya yang porak poranda penuh gerobak dorong diparkir. Dipotret pula gedung Muhammadiah dan universitasnya, yang terlihat rapi dan tampak aktif. Tidak ketinggalan Rumah Sakit Cikini milik ummat Kristen Protestan dan Rumah Sakit St. Carolus, milik ummat Katolik. Ditentengnya foto-foto itu, lalu bikin program mertamu ke kediaman tokoh-tokoh “besar” NU. Dihadapan masing-masing tokoh itu foto digelar, sambil menyampaikan keperihatinan. Mengadu dengan cara seperti itu ternyata lumayan berhasil pula. Sempat ada tokoh NU yang meneteskan airmata.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang baru saja meninggalkan Tebuireng, Jombang dan memulai hidup di Jakarta, diajak serta. Dan selanjutnya bersama kelompok ini mencari cara "mengaktifkan" jamiah NU lagi.
Nahdlatul Ulama benar-benar mengalami krisis jatidiri. Sebagai organisasi partai politik sudah bukan. Sedangkan merubah diri menjadi organisasi sosial keagamaan baru berupa pernyataan. Prilaku masih tetap saja sepertinya masih sebagai partai politik. Membenahi kondisi seperti itu tidaklah mudah dan butuh waktu cukup panjang.
Bagian dari proses pembenahan itu contohnya ialah, beberapa waktu menjelang penyelenggaraan muktamar ke 25 NU di Semarang tahun l979, kelompok Fahmi ini berusaha membantu menyiapkan berbagai rancangan materi bahasan dan draft awal keputusan-keputusan muktamar. Kelompok orang-orang muda itu menginginkan NU kembali pada fungsi sosial keagamaan, menjauh dari panggung politik tanpa meninggalkannya secara total.
Muktamar akhirnya memang menyepakati untuk mengeluarkan ajakan kembali pada kegiatan sosial keagamaan dan secara resmi menegaskan supremasi para ulama. Semua keputusan pengurus Tanfidziah haruslah merupakan implementasi dari garis kebijakan yang ditetapkan oleh pengurus Syuriah, majelis tertinggi NU penentu kebijakan jamiah.
Keputusan muktamar cukup bagus. Tapi karena kembali lagi yang terpilih menjadi pengurus orang-orang lama juga, maka implementasi keputusan tersebut tidak jalan. Keadaannya kembali seperti sebelum muktamar. KH Bisri Sansuri, Rais Aam PBNU sampai-sampai sempat merasa dicurangi. Pengurus Tanfidziah dinilai sebagai hanya menghendaki lancarnya politik, tidak mengingat isinya politik. Ketika Rais Aam mengajak rapat, ada-ada saja alasan untuk menunda. Tapi ketika sedang tidak ada di Jakarta, keputusan diambil dalam rapat yang tidak dihadiri Rais Aam.
KH Bisri Sansuri wafat pada tanggal 25 April 1980. NU tidak punya Rais Aam hampir selama satu setengah tahun. Pengganti almarhum Kiai Bisri baru ditetapkan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta, pada akhir Agustus l981. Fahmi Saifuddin dan kawan-kawan cukup aktif kali ini untuk ikut mewarnai hasil-hasil musyawarah tersebut. Dan K.H. Ali Maksum, pimpinan Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, ditetapkan sebagai Rais Aam, menggantikan almaghfurlah Kiai Bisri Sansuri.
Awal tahun 1980-an itu beda pandangan di lingkungan NU terpilah menjadi tiga. Kelompok politik akomodasionis yang kemudian dikenal dengan kelompok Cipete. Kelompok Situbondo terdiri dari sub-kelompok politik "garis keras" dan sub-kelompok muda yang menginginkan pembaharuan NU dengan jalan kembali ke khittahnya.
Fahmi adalah tokoh pekerja keras yang menjadi motor kelompok muda pembaharuan itu. Pekerja keras yang tidak gemar publikasi, sehingga tidak banyak orang tahu bahwa mustahil kelompok ini bisa bergerak efektif tanpa peranan dia.
Fahmi dan kawan-kawan, ketika sudah sulit berharap banyak dari peran pimpinan NU hasil Muktamar ke 26 NU di Semarang tahun l979, akhirnya menyelenggarakan pertemuan mengundang 24 orang tokoh dari berbagai daerah. Mereka punya pandangan sama mengenai arah gerak NU ke depan. Pertemuan di Jakarta pada Mei l983 itu, himpunan pesertanya kemudian disebut Majelis 24. Majelis ini melahirkan Tim Tujuh yang bertugas merumuskan pokok-pokok pikiran kembali ke Khittan NU l926.
Proses ini berlanjut sehingga gerak ke depan makin mengkristal. Dalam majelis 24 ini termasuk di dalamnya KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, yang di belakang hari melalui Muktamar NU ke 30 di Kediri terpilih sebagai Rais Aam PBNU.
Rumusan pokok-pokok pikiran kembali ke Khittah NU 1926 mendapat respon positif dari para ulama. Beberapa pokok pikiran itu antara lain menyebutkan, NU bukan sekadar tidak berpolitik praktis, namun juga mengembalikan jajaran Syuriah sebagai tempat menggodok kebijakan. Sementara pengurus Tanfidziah sekadar menjalankan program kerja dari apa yang sudah dihasilkan Syuriah.
Pada tahap ini kelompok mengedepankan Abdurrahman Wahid. Diharapkan dia akan dapat menduduki ketua umum PBNU dalam muktamar berikutnya. Untuk mencapai tujuan itu, diusahakan antara lain dengan menjadikan Gus Dur ketua panitia penyelenggara Muktamar ke 27 NU. Muktamar ini akan mensahkan hasil Munas Alim Ulama NU. Di antara keputusannya kembali ke Khittah NU l926 itu.
Ada tahapan yang harus ditempuh bagaimana Gus Dur bisa memperoleh kepercayaan penguasa dan dikenal luas sebagai bakal tokoh NU.
Selesai penyelenggaraan Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1983, beberapa ulama dipimpin Kiai As’ad Syamsul Arifin menghadap Presiden Soeharto. Tujuannya meminta agar dapat memperoleh izin penyelenggaraan Muktamar ke 27 NU. Dan melaporkan hasil Munas Alim Ulama. Kesempatan itu kami gunakan untuk sekaligus menampilkan ketua panitia penyelenggara muktamar Abdurrahman Wahid. Sebab itu Gus Dur harus dilibatkan.
Pagi itu Gus Dur berangkat dari rumah kontrakannya di kawasan Ciganjur Dia tidak langsung ke kediaman Presiden Soeharto, melainkan ke “markas” kelompok G. Mungkin karena berdesakan di perjalanan, kemeja batiknya jadi lecek. Beruntung masih ada kesempatan dibantu istri saya menyetrika baju batik itu lebih dulu . Baru kemudian berangkat ke Jalan Cendana, tempat kediaman Presiden Soeharto. Menggunakan mobil Fahmi, Gus Dur kami antar. Di kediaman Presiden RI itu Gus Dur bergabung dengan para kiai. Kami berdua, Fahmi dan saya, menunggu di ruang lain.
Didampingi Menteri Agama Munawir Syadzali Presiden Soeharto menerima kunjungan para kiai tersebut plus Gus Dur. Selesai pertemuan, para kiai langsung meninggalkan kediaman Presiden. Tapi Gus Dur, digandeng Pak Munawir, pindah ke ruangan tempat kami berdua menunggu untuk menemui para wartawan yang sudah lama menunggu. Menteri Agama mengumumkan bahwa Presiden menyetujui penyelenggaraan muktamar NU. Sekaligus mengumumkan, ketua panitia penyelenggaranya Abdurrahman Wahid.
Karena Munas Alim Ulama sudah diselenggarakan di Pesantren Salafiyah Syafiiyah-nya Kiai As’ad, maka tempat muktamar belum lagi ditetapkan. Menggunakan pengemudi dan mobil Fahmi, Gus Dur, Fahmi dan saya menemui beberapa kiai, melakukan peninjauan ke beberapa pesantren. Antara lain untuk kembali “menilai” kemungkinan pesantrennya kiai As’ad dijadikan tempat muktamar. Perjalanan panjang Jakarta – Situbondo, sempat memaksa kami menginap seperempat malam di kediaman dokter Muhammad Tohir, Surabaya. Kami memasuki rumah dokter ini menjelang fajar. Kembalinya, setelah meninjau pesantren Buntet dan bertemu almaghfurlah Kiai Mustamid Abbas, perjalanan dilanjutkan dan sempat menginap setengah malam di sebuah masjid yang lokasinya tidak jauh setelah melewati Cimahi dari arah Bandung. Perjalanan ini memberikan kenangan tersendiri. Sempat potret-potretan bertiga segala di tepi pantai, dekat Tuban.
Saya memperhatikan bagaimana peran Fahmi sebagai salah seorang ketua PBNU. Sebagai dokter yang berkeahlian di bidang kesehatan masyarakat, dia jadikan NU sebagai obyek “masyarakat”-nya. Dia dokteri NU melalui pendekatan planning, organizing, staffing dan seterusnya. Dia mencoba membangun sistem manajemen organisasi NU. Suatu usaha yang untuk berhasil sepenuhnya memerlukan waktu panjang. Karena sejak berdirinya sebagai organisasi kaum tradisionalis, NU dikelola secara “lillahi ta’ala”.
Fokus perhatian diarahkan ke pengembangan sumberdaya manusia. Itu sebabnya 3 bulan seusai muktamar Situbondo, sebuah badan baru bernama Lajnah (sekarang berkembang menjadi Lembaga) Kajian Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), didirikan.
Baru mulai jalan, kegiatannya macet karena masalah manajemen. Untuk mulai menghidupkan kembali aktifitas Lakpesdam, Ketua PBNU Abdurrahman Wahid menandatangani MoU kerjasama dengan Duta Besar Amerika Serikat, Paul Wolvowitch. Penandatangan berlangsung di Kedutaan Besar AS, disaksikan K.H. Ali Yafie waktu itu sebagai Wakil Rais Aam PBNU, Fahmi Dja’far Saifuddin, Wakil Ketua PBNU, dan saya sendiri selaku Direktur Lakpesdam yang baru.
Dengan dana bantuan diperoleh dari USAID melalui The Asia Foundation, Lakpesdam dikembangkan baik organisasinya maupun program-programnya. Alumni berbagai macam pelatihan Lakpesdam agaknya ribuan jumlahnya, tersebar di berbagai daerah nusantara. Alumni pengurusnya juga berkembang. Di antaranya Tosari Widjaya, wakil ketua DPR-RI. Lukman Saifuddin, anggota DPR-RI. Maria Ulfah, ketua umum PP Fatayat dan seterusnya. Fahmi sangat concern terhadap lembaga yang satu ini.
Bisa sangat panjang lebar bercerita tentang almarhum Fahmi Saifuddin. Saya ingin mengusulkan ada buku tersendiri tentang biografi Fahmi untuk menjadi contoh prilaku dan semangat orang muda sampai tua, dalam memberikan pengabdian kepada sesuatu yang dicita-citakan. Seingat saya dia tidak punya musuh. Kemampuannya membangun jaringan dan lobby-nya sangat kuat. Hormatnya kepada para ulama sepuh patut dicontoh.
Sepotong kenangan lagi ingin saya tambahkan. Menjelang uktamar ke 29 NU di Cipasung tahun l994, hampir semua teman-teman yang selama itu bekerja sama sejak merancang gagasan kembali ke Khittah NU 1926, menginginkan Fahmi menjadi ketua umum PBNU berikutnya. Gus Dur sudah dua periode , sepuluh tahun, menjadi orang pertama di Tanfidziah NU. Kawan-kawan memandang sebaiknya Gus Dur naik ke Majelis Syuriah, sebagai Wakil Rais Aam. Tujuannya selain agar fungsi Syuriah dapat terlaksana sepenuhnya, juga maqom Gus Dur dipandang sudah kurang pas lagi memimpin badan pelaksana seperti Tanfidziah.
Sayang sekali keinginan itu tidak terlaksana. Syarat Fahmi bersedia maju, yang untuk memproleh dukungan sudah dikampanyekan oleh kawan-kawan, jika dia tidak bersaing dengan Gus Dur. Tapi agaknya Gus Dur masih ingin melanjutkan duduk sebagai ketua umum PBNU untuk kali ketiga. Lebih disayangkan lagi karena kemudian tersebar fitnah seolah-olah tampilnya Fahmi mewakili unsur kekuasaan. Karena tudingan semacam itu jauh panggang dari api, selesai berbicara empat mata dengan Gus Dur sehari sebelum acara pemilihan pengurus baru dalam muktamar, Fahmi kembali ke Jakarta meninggalkan Cipasung, Tasikmalaya. Ia meninggalkan surat untuk disampaikan kepada muktamirin, bahwa dirinya tidak bersedia dicalonkan dalam pemilihan pengurus PBNU .
Kendati dikecewakan begitu dalam, bukan soal tidak jadinya maju dalam pencalonan dan tidak menjadi ketua umum, Fahmi dengan caranya sendiri tetap berkhidmat kepada NU. Tali silaturahim yang telah terjalin dengan siapapun tidak pernah terputus.
Allahummaghfirlahu warhamhu, wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Amin.

Tidak ada komentar: