Kamis, 21 Februari 2008

Ibu dari Banyak Pemuda Pergerakan


Oleh M Said Budairy
Catatan
Yayasan Wahid Hasyim, yang saya pernah jadi anggota pengurunya, menerbitkan buku biografi Ibu Solihah A. Wahid Hasyim berjudul Muslimah di Garis Depan. Di antara 24 oang yang diminta mengisi kenngannya tentang Ibu Wahid (begitu saya biasa menyebut nama beliau), salah satunya saya. Maka tulisan berikut ini yang tercantum dalam buku setebal 453 halaman itu.


Ibu Sholihah Wahid Hasyim bukanlah hanya ibu putera-puterinya saja, melainkan juga "ibu" dari banyak orang-orang muda pergerakan. Karena kedudukannya yang seperti itu maka saya sempat kenal baik dan cukup dekat dengan beliau. Awal kenalnya semenjak saya masih sangat muda.
..isi dari sebagian artikel..
Di akhir l950-an saya mendampingi kakek saya Alwi Murtadho di Bandung. Beliau menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia. Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden , saya bergabung ke kakak saya Abdullah Alwi Murtadho atau biasa disingkat namanya menjadi AA Murtadho di Jakarta. Kakak saya menjadi Ketua Departemen Luar Negeri PP Pemuda Ansor, sambil melanjutkan studinya di Akademi Dinas Luar Negeri. Tempat tinggalnya di salah satu ruangan kantor Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor, Jalan Pegangsaan Timur 46, Jakarta Pusat. Tidak terlalu jauh dari kediaman Ibu Sholihah Wahid Hasyim, yang beralamat di Taman Matraman 8, Jakarta Pusat.
Komunitas Pegangsaan Timur 46, di luar dinas kegiatan PP Pemuda Ansor, terdiri dari penghuni tetap dan musiman. Mereka adalah Pak Munasir (KH Munasir Ali, ayahandanya Rozy Munir), Pak Ud (KH Yusuf Hasyim, pengasuh pesantren Tebuireng), mBah Tohir (seorang bekas pejuang Hisbullah anak buah Pak Munasir), AA Murtadho, Sa'dullah dan Mahfudz (kedua orang terakhir pegawai sekretariat PP Pemuda Ansor) dan bertambah satu lagi, saya sendiri. Yang aktif sebagai anggota komunitas tapi bukan penghuni tetap maupun musiman adalah Mahbub Djunaidi, Chalid Mawardi dan Aminuddin Aziz.
Terbawa oleh para senior itulah saya jadi punya hubungan dan kedekatan dengan Ibu Wahid, bahkan juga menjadi kenal secara pribadi dengan ayahanda beliau, KH Bisri Sansuri, Wakil Rais Aam PBNU.
Berpindah dari sebuah kota kecamatan, Singosari - Malang, yang penduduknya saling mengenal satu sama lain sehingga kontrol sosial dalam kehidupan sehari-hari begitu ketat, maka ketika masuk ke kota metropolitan Jakarta rasanya seperti masuk ke hutan rimba. Secara psikologis ada kebutuhan punya pengayom. Status sebagai warga NU sangat membantu, karena banyak teman sesama warga NU. Apalagi ketika sudah mulai beraktivitas sebagai pengurus organisasi, merasa tidak asing lagi. Tapi terbukanya hubungan kekeluargaan dengan keluarga Ibu Wahid, menjadikan kehidupan saya di kota sebesar Jakarta terasa "aman".
Dengan putera-puteri Ibu Wahid mulanya tidak saling kenal. Mereka lebih muda dari pada saya dan teman-teman, disamping mereka belum menerjunkan diri dalam kegiatan keorganisasian NU. Sekali-sekali jika berkunjung saya memperhatikan. Seorang di antaranya, laki-laki bertubuh kecil, bekacamata baca dan warna kulitnya gelap, suka ambil posisi menyendiri dan terus asyik membaca tanpa memperdulikan sekitarnya. Ternyata itulah yang kemudian dikenal sebagai Dr. Umar Wahid, ketua tim dokter kepresidenan Abdurrahman Wahid.
Di antara kelebihan di rumah Ibu Wahid adalah makanannya. Selalu tersedia makanan Jawa Timur dan enak-enak. Khususnya jika berkunjung lebaran, macam-macam kuwe tersedia di meja, disajikan secara prasmanan. Selain itu juga tersedia ketupat dengan segala uba rampai yang membikin nikmat.
Ketika keluarga saya, istri dan anak-anak, sudah pindah ke Jakarta, hubungan makin dekat. Kebetulan istri saya juga aktivis organisasi Ikatan Pelajar Puteri NU semasa masih bersekolah dan melanjutkan kegiatannya di Jakarta di lingkungan Fatayat, kemudian Muslimat NU. Kami menempati sebuah rumah di gang Moh Ali, Galur, kawasan Senin, tidak terlalu jauh dari rumah kediaman Sekjen CC PKI, DN Aidit. Lingkungan tempat tinggal saya terkenal partai komunisnya kuat.
Tahun 1965 ketika pecah peristiwa G30S, saya menjabat sebagai Wakil Sekjen Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor disamping menjadi anggota DPR-GR/MPRS. Tanggal 30 September 1965 Pucuk Pimpinan Ansor rapat di kantor PBNU Kramat Raya, yang lokasinya berseberangan dengan kantor CC PKI. Rapat baru berakhir lepas tengah malam. Di jalan-jalan yang saya lewati untuk pulang suasanya biasa-biasa saja, sepi karena memang saatnya semua orang tidur lelap. Padahal saat itulah sejumlah jenderal terbunuh. Paginya, tanggal 1 Oktober l965, saya mendengar pengumuman lewat radio dari Letnan Kolonel Untung tentang telah terbentuknya Dewan Revolusi, ditangkapnya beberapa jendral dan seterusnya. Saya memperkirakan telah terjadi perebutan kekuasaan. Tapi tidak jelas oleh siapa kok malah ada jenderal yang ditindak. Maka saya segera menghubungi kawan-kawan, dan kami bertemu di rumah Jalan Cut Mutiah nomor 1, tempat yang biasa dihuni oleh Pak Munasir dan Pak Yusuf Hasyim. Pertemuan berjalan singkat dan kami sepakat untuk menyebar guna memperoleh informasi lebih jauh. Informasi yang dapat memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebagai dasar menetapkan sikap PP Pemuda Ansor. Kami berjanji bertemu lagi malam hari di Klender, Jakarta Timur, di rumah ketua Ansor DKI Jakarta. Klender waktu itu terasa sebagai bagian dari "luar kota." Semalaman kami terus memantau perkembangan melalui berbagai saluran, termasuk RRI. Mahbub Djunaidi masih menyempatkan diri pergi ke percetakan Duta Masyarakat untuk memeriksa persiapan penerbitan koran tersebut. Tapi, ketika kembali ke Klender, Mahbub bilang Duta Masyarakat dilarang terbit.
Dalam situasi seperti itu telah diambil inisiatif "mengamankan" keluarga-keluarga yang berada di wilayah kurang aman dan ditinggal suaminya beraktiivitas di luar rumah. Istri dan anak-anak saya dijemput oleh Rozy Munir dan Salahuddin Wahid, lalu dibawa pindah ke kediaman Ibu Wahid, yang kebetulan berdampingan dengan kediaman Kolonel Alamsyah, pejabat penting Angkatan Darat, sehingga sebuah kendaraan lapis baja mengawal di depan rumahnya. Keluargaku tinggal beberapa waktu lamanya di kediaman Bu Wahid bersama dengan satu keluarga Drs. Djawahir. Sementara orang-orang muda lainnya datang pergi saja di rumah itu.
Pagi tanggal 2 Oktober kami masuk kota lagi, langsung ke tempat kediaman Ibu Wahid Hasyim. Koran pagi, kecuali beberapa yang tidak terbit seperti Duta Masyarakat, memperjelas peta keberpihakan. Koran-koran kiri seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur, tampak jelas dari politik pemberitaan dan editorialnya berpihak pada gerakan 30 September itu.Terbunuhnya beberapa orang jenderal sudah tersiar luas. Kediaman Ibu Wahid kemudian disediakan untuk kami jadikan "posko" sekaligus tempat "pengungsian".
Di "pos komando" di Taman Amir Hamzah itu tersusun pernyataan PBNU menanggapi peristiwa tragis dalam sejarah negeri ini. Setelah memperoleh persetujuan eksponen-eksponen NU yang berwenang, yang membubuhkan tandatangannya di atas pernyataan tersebut, kami sepakat untuk mengumumkannya lewat RRI. Untuk merealisasikannya kami jemput Mas Subchan ZE, wakil ketua IV PBNU, yang sehari sebelumnya memimpin rapat umum menggerakkan massa menentang gerakan 30 September. Kami ajak beliau ke gedung RRI untuk mengumumkannya. Tadinya kami ingin mas Subchan langsung membacakan pernyataan itu. Tapi oleh beberapa pertimbangan dari pihak RRI, petugas RRI yang membacakan selengkap teksnya.
Untuk mengusir rasa sunyi yang mencekam dalam perjalanan pulang dari gedung RRI, di Jakarta ketika itu diberlakukan jam malam mulai pukul 18.00, kami sempat riuh bercanda. Kami antar kembali Mas Subchan ke tempat kediamannya. Sesampai kembali di kediaman Ibu Wahid Hasyim, kami masih sempat mendengarkan pembacaan pernyataan PBNU melalui RRI siaran pukul 21.00. Isi pernyataan antara lain NU menegaskan keyakinannya, bahwa otak dan penggerak G-30-S adalah PKI. Sebab itu NU meminta kepada Presiden Soekarno agar membubarkan Partai Komunis Indonesia.
Tahun l971 keluarga saya ditimpa musibah. Anak saya nomor tiga, Hisyam Said, dikhitan. Kakek neneknya dari kampung datang ke Jakarta untuk mendampingi sang cucu yang dikhitan itu. Semuanya berjalan lancar. Tapi neneknya, ibu istri saya bernama Siti Mudawari jatuh sakit. Saya bergegas ke kediaman Ibu Wahid, mencari Dr. Umar Wahid untuk meminta bantuannya. Tapi ketika saya masih dalam perjalanan, istri saya sudah menelpon ke kediaman Ibu Wahid memberitahukan bahwa ibu mertua saya itu telah meninggal dunia. Ibu Wahid ganti yang bergegas ke rumah saya. Segala urusan jenazah, mulai dari memandikan sampai mengkafani, semuanya di bawah supervisi Ibu Wahid.
Kenangan lainnya dengan Bu Wahid adalah ketika pada tahun l985 saya dan istri menunaikan ibadah haji. Hari-hari terakhir di Madinah istri saya sakitnya nggak sembuh-sembuh. Dokter klotter (kelompok terbang) telah mengusahakan penyembuhan dengan berbagai obat yang tersedia. Tapi akhirnya sang dokter bilang, nanti sesampai kembali di Jakarta akan sembuh sendiri. Nyatanya sesudah beberapa waktu sampai kembali di Jakarta, penyakit itu tak juga mau pergi. Rupanya Bu Wahid mendengar keadaan itu. Beliau datang ke rumah, duduk disamping istri saya di kamar tidur berlama-lama sambil menghibur si sakit.
Panjangnya masa hubungan kekeluargaan dengan keluarga Bu Wahid, berlanjut hubungan kami dengan putera-puterinya cukup dekat. Di antara putera-puterinya itu tadinya ada yang enggan berkiprah di lingkungan NU. Saya sempat mendorong-dorong agar jangan demikian. Saya pikir keluarga ini adalah keluarga pendiri Nahdlatul Ulama. Tentu kurang layaklah jika para orang tuanya sudah tiada, anak cucunya tidak berkeinginan ikut mengurusi jamiah diniah Islamiah Nahdlatul Ulama dengan badan-badan otonomnya, yang sudah dengan susah payah dibangun oleh para sesepuhnya.
Bu Wahid sebagai ibu putera-puterinya, sebagai janda berusia 30 tahun, memberikan teladan ketegaran, ketekunan dan semangat tak kunjung padam jauh sebelum orang membicarakan tentang kesetaraan jender. Saya sempat mendengar sendiri hembusan dari tarikan nafas panjang Bu Wahid yang mensyukuri "berakhirnya" beban tanggung jawab membesarkan anak, ketika menyelenggarakan pernikahan Hasyim Wahid, putera bungsunya. Dibantu menantunya Hamid Baidlowi, suami Aisyah Wahid, hasil didikan Bu Wahid adalah deretan putera puterinya, Abdurrahman Wahid, Aisyah Wahid, Salahuddin Wahid, Umar Wahid. Mereka semua agaknya tidak asing lagi dalam percaturan kebangsaan kita. Masih ada Lily Khodidjah dan Hasyim Wahid, yang perannya bebas dari ekspose media massa.
Untuk mengabadikan nama Wahid Hasyim pernah dibentuk Yayasan Wahid Hasyim. Programnya terutama melakukan upaya-upaya pendidikan dan pengembangan sosial budaya dan keagamaan. Yayasan keluarga ini memasukkan sebagai pengurus beberapa orang bukan keluarga hubungan darah. Mereka adalah pak Munasir Ali, mas Soetjipto Wirosardjono, Fahmi Saifuddin dan Said Budairy. Pengurus selebihnya putera-puteri Bu Wahid sendiri.
Dalam kepengurusan Muslimat NU, banyak "monumen" yang dirintis oleh atau setidaknya bu Wahid terlibat dalam pembangunannya. Antara lain panti asuhan yatim piatu, rumah bersalin, rumah jompo, gedung serba guna Muslimat NU dan sebagainya.
Bu Wahid juga sangat berjasa dalam menyelamatkan NU dari perpecahan yang berkepanjangan. Ketika terjadi kubu-kubuan Cipete dan Situbondo akibat tidak berfungsinya NU sebagai jamiah diniah Islamiah yang telah melakukan fusi politik di dalam Partai Persatuan Pembangunan, sempat sulit sekali tokoh-tokohnya dapat dipertemukan untuk mencari solusi. Bu Wahid bertindak sebagai pengundang pertemuan para kiai dan tokoh-tokoh NU dari kedua kubu. Tempat pertemuan di rumah KH Hasyim Latief, Jalan Wonocolo VI No. 661, Sepanjang - Sidoardjo. Pertemuan berhasil dilangsungkan, tokoh-tokoh utama NU waktu itu bertemu. Peristiwa tersebut membikin mulus jalannya muktamar NU ke 27 yang memutuskan kembali ke Khittah NU 1926.
Bu Wahid, Fahmi Saifuddin dan saya pernah beberapa kali berbincang-bincang soal jalannya organisasi NU di bawah ketua umumnya Abdurrahman Wahid. Beliau tidak segan-segan mengemukakan kritiknya. Jika tidak berkenan menyampaikan langsung kepada Gus Dur, Bu Wahid menyampaikan kepada kami. Pernah juga titip-titip agar dapat membantu Gus Dur dengan mengingatkannya jika mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak semestinya. Saya pernah menyatakan kesediaan, sambil memberi catatan jika tidak berhasil saya akan kembali lewatkan beliau. Bu Wahid menyetujui. Tapi ada pesan khusus yang disampaikan Bu Wahid hanya kepada Fahmi Saifuddin berkaitan dengan Gus Dur. Fahmi tidak pernah melupakannya dan berusaha untuk terus menunaikan pesan tersebut.
Bu Wahid seorang ibu yang telah berhasil menjadikan anak-anaknya bukan orang-orang sembarangan, menjadikan dirinya "ibu" dari banyak pemuda-pemuda pejuang, berhasil memberi keteladanan kepada sesamanya, telah berbuat banyak untuk hal-hal yang dapat membantu dan dapat dinikmati masyarakat. Semoga memperoleh maghfiroh dan diterima segala amal baiknya oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Amin.

Tidak ada komentar: