Rabu, 20 Februari 2008

Slamet Effendy Yusuf -----------36 Tahun Bersahabat


Oleh M. Said Budairy
Dalam suatu forum diskusi di gedung PBNU akhir Januari 2008 saya duduk berdamping dengan Drs. Slamet Effendy Yusuf M.Si. Beliau berbisik menagih tulisan saya untuk buku biografi memperingati 60 tahunnya sambil bilang: "Kalau gak ada tulisan Mas Said buku tidak akan saya terbitkan. Mas Said itu jembatan saya berkiprah di Jakarta." Melalui e-mail beberapa hari kemudia saya kirim tulisan berikut ini:
Tahun l977 ada orang muda, rambut agak gondrong diantar dr. Fahmi Saifuddin menemui saya di kantor harian Pelita. Ketika itu saya menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi. Tapi karena menjadi satu-satunya wartawan professional yang ada di pimpinan koran tersebut, saya menjadi penanggung jawab sehari-hari dan penata redaksionalnya.
..isi sebagian dari artikel..
Suratkabar Pelita mulai terbit tahun 1974, beberapa bulan setelah beberapa koran lain ditutup gara-gara dianggap terlibat peristiwa Malari. Yang dibredel termasuk koran tempat saya bekerja, harian Pedoman yang dipimpin H. Rosihan Anwar. Saya yang wartawan oleh Pak Rosihan diminta menjadi pemimpin perusahaan harian Pedoman.
Pelita mendapat izin terbit secara istimewa. Tanpa Surat Izin Terbit (SIT) tertulis. Hanya nomor SIT-nya saja yang saya terima lewat telpon malam hari untuk ditampilkan di koran, sebelum besoknya terbit. Direktur Jendral Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Departemen Penerangan waktu itu dipegang oleh Sukarno, SH. Opsus yang dipimpin Pak Ali Murtopo sedang aktif dan sangat berperan ketika itu. Deretan pimpinan harian Pelita adalah Pemimpin Umumnya Drs. Syah Manaf, Pemimpin Redaksinya Drs. Barlianta Harahap dan selain saya Wakil Pemimpin Redaksi satunya lagi Drs. Darussamin. Kedua teman di pimpinan redaksi itu sebelumnya tidak berprofesi sebagai jurnalis. Pelita diterbitkan dengan maksud menjadi medianya kalangan Islam di partai yang manapun.
Kedatangan orang muda yang bertubuh agak kurus dan belakangan saya ketahui bernama Slamet Effendi Yusuf itu bermaksud melamar menjadi wartawan Pelita. Sebagai salah seorang deklarator berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), mengetahui yang datang mantan Ketua PMII Cabang Yogya, segera saja saya tertarik. Saya perhatikan curriculum vitaenya, usianya 12 tahun lebih muda, saya lahir l936 dia lahir l948. Dia memang punya minat besar pada dunia jurnalistik. Tapi pengalamannya baru sebatas bersentuhan dengan penerbitan majalah kampus.
“Mas, tahun depan satu lagi yang akan melamar mohon diterima,” ungkapnya begitu saya setujui dia bekerja di harian Palita. “Siapa orangnya?”, tanya saya. “Ichwan Sam, mas. Dia sedang akan menyelesaikan kuliahnya”.
Slamet cepat belajar. Awal-awal dia menulis berita yang kemudian saya periksa, saya bilang kepadanya, “Intro yang biasa di majalah jangan digunakan menjadi lead sebuah berita. Alenea pertama berita biasa disebut lead gak boleh berkepanjangan tapi unsurnya diusahakan lengkap, sehingga cepat tertangkap oleh pembaca berita apaan itu”. Sesudah itu praktis hampir tidak pernah lagi memerlukan bimbingan teknis dari saya.
Kantor Redaksi Pelita berada di Jl. Asemka, Jakarta Kota. Para wartawannya kebanyakan bertempat tinggal di Jakarta Pusat atau Selatan. Jaraknya cukup jauh. Saya sudah punya mobil Fiat 1100 tua. Kalau pulangnya bersamaan, ada saja wartawan yang mau numpang. Termasuk kadang-kadang Slamet Efendi.
Suatu hari sepertinya Slamet ingin juga bisa mengemudikan mobil. Zaman itu manalah ada mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga bermobil. Motor sajapun barangkali tidak banyak. Waktu dalam perjalanan pulang kantor suatu hari, ketika saya mendahului mobil lain di jalan yang agak sempit, tiba-tiba Slamet yang duduk disebelah saya nanya, “Mas, mengira-ngira supaya tidak nyerempet di jalan sempit begitu itu caranya bagaimana ya ?”. Saya tersenyum sambil memperkirakan apa yang sedang didambakan Slamet. “Dalam keadaan seperti ini, yang kerja sudah feeling, perasaan, Met. Sudah bukan lagi ukuran meter”, jawab saya.
Dari tahun l974 – 1977 koran Pelita tidak bisa berkembang. Meskipun dipaksakan tirasnya tidak lebih dari belasan ribu saja. Tiap bulan merugi selama 3 tahun itu. Saya pikir penyebabnya karena posisinya tidak jelas. Koran pemerintah, yang terus diguyur dana, bukan. Koran ummat, dalam arti bisa sepenuhnya melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, termasuk melakukan kritik terhadap kebijakan penguasa, menyajikan berita dan pendapat secara obyektif, juga tidak mungkin. Akhirnya, menjelang Pemilu l977 Pelita banting setir . Blak-blakan memberitakan dan mengemukakan pendapat atas kecurangan-kecurangan penguasa dalam usaha memenangkan peserta Pemilu Golkar. Sempat menjadi berita utama pembakaran rumah-rumah pekerja perkebunan di Jawa Timur gara-gara tidak mau memilih Golkar. Cukup menggegerkan berita yang saya turunkan tentang kematian Kiai Hasan Basri dari Brebes yang dikabarkan bunuh diri dengan cara menerjunkan diri ke dalam sumur, pada hal kematiannya juga terbunuh karena tidak mau mengajak pengikutnya memilih Golkar.
Kepala Staf atas nama Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo melayangkan surat kepada pimpinan Pelita. Surat bernomor 135/KOPKAM/VI/1977 tertanggal 4 Juni 1977 mencantumkan perihalnya: Peringatan Keras.
Saya simpan baik-baik surat itu. Ada 3 poin penting:
Pertama, “Sehubungan dengan berita yang dimuat pada harian Saudara tertanggal 8 Mei 1977, antara lain mengenai pembakaran 150 buah rumah di daerah Asembagus (JATIM), kasus kematian K. HASAN BASRI di Brebes maka dapat disimpulkan bahwa pemberitaan tersebut memutar balikkan fakta, berkelebihan, bersifat menghasut dan mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.”
Kedua, “Karenanya pemberitaan tersebut dapat mempengaruhi Stabilitas Nasional/Keamanan dan Ketertiban masyarakat pada umumnya, maka dengan sangat menyesal kami memberikan peringatan keras kepada Saudara.”
Ketiga, “Guna mendapatkan penyelesaian menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka masalah tersebut kami teruskan kepada Jaksa Agung RI dan KAPOLRI. “
Ketika peringatan Kas Kopkamtib berikut ancamannya itu tersiar di berbagai surat kabar, termasuk di harian Pelita, saya tidak sangka berdatangan begitu banyak surat dari masyarakat Situbondo/Jawa Timur dan Brebes. Isinya pernyataan bersedia menjadi saksi hidup jika Pelita diadili. Selain surat pernyataan, rupanya ada yang diam-diam memotret ketika terjadi pembakaran rumah-rumah di Asembagus. Foto-fotonya dikirimkan juga ke Pelita. Kita tahu di Asembagus ada desa Sukorejo. Di desa itu berdiri pesantren besar Salafiyah Syafiiyah dengan pemimpin kharismatiknya KH Asad Syamsul Arifin, salah seorang tokoh besar NU yang sebagai ahlul halli wal aqdi mengangkat Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU tapi kemudian dia sendiri mufarraqah. Pengaruh Kiai Asad sangat besar. Dan ummatnya menjadi pendukung kuat Partai Persatuan Pembangunan (PPP), karena Partai NU telah berfusi politik ke dalamnya.
Dengan menjadikan Pelita koran yang melakukan kritik terbuka atas kecurangan-kecurangan penyelenggaraan Pemilu, tirasnya melonjak. Sempat mencapai 200.000 di masa itu. Tiras tersebut terus dipertahankan, tapi toh merosot juga setelah usainya Pemilu . Namun tidak sampai merugi malah bisa menyimpan sisa hasil usaha walau tidak banyak.
Adapun ancaman Kas Kopkamtib urusan pemberitaan Pelita yang dituduh menghasut, memutar balikkan fakta dan berlebihan dengan menyerahkan kepada Jaksa Agung dan Kapolri, agaknya sekedar menakut-nakuti saja. Tidak ada tindak lanjutnya.
Slamet masih terus berada di Pelita. Koran tetap jalan stabil tidak membesar tapi juga tidak terus merosot. Lima tahun kemudian, menjelang Pemilu l982, menteri penerangan-nya Pak Ali Murtopo. Menjelang pemungutan suara Pemilihan Umum angota DPR-RI tahun l982 itu, Pak Ali Murtopo mengumpulkan para pimpinan surat kabar. Saya hadir mewakili Pelita. Melalui forum itu ada permintaan agar suratkabar hanya menyiarkan hasil penghitungan suara yang berasal dari Lembaga Pemilihan Umum (sejenis KPU-nya) saja. Tidak dari sumber lain. Saya tidak bisa terima, tapi dalam suasana seperti itu dan berhadapan dengan Jendral Aspri Presiden dan Kepala Operasi Khusus, saya tidak bisa buka mulut.
Kenapa saya tidak bisa terima, karena sebagai anggota DPR-GR yang ikut menyusun UU tentang Pemilu saya hafal betul bahwa ketentuannya penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sifatnya rapat terbuka untuk umum. Kenapa lantas tidak boleh menjadikannya sumber berita.
Saya hubungi H.J. Naro yang menjadi Ketua Umum PPP untuk memberi tahukan perkara itu dan sikap saya. Dia mendukung untuk tetap menyiarkan dari sumber TPS. Maka pada penerbitan pada hari seusai pemungutan suara sehari sebelumnya, Pelita tetap menyiarkan hasil penghitungan suara dari beberapa sumber. Sore harinya saya terima telpon dari Departemen Penerangan, diminta datang ke kantor itu pada pukul 19.00. Pada kesempatan itulah Dirjen PPG Sukarno, SH sambil menyatakan bukan dia sendirian yang memutuskan, menyampaikan surat pembredelan harian Pelita. Tidak ada hak membela diri, langsung divonis. Saya segera ke kantor redaksi menyelenggarakan rapat dadakan dan menyampaikan kabar buruk pembredelan itu kepada teman-teman. Kerja redaksi sudah separoh jalan, terpaksa dihentikan sama sekali. Ketika saya beritahu Naro dengan maksud mencari pembelaan, dia cuma bilang, “Mungkin karena Pelita dianggap sudah banyak melakukan pelanggaran”.
Bukan saja korannya dibredel, pribadi sayapun dibredel. Setelah melewati beberapa bulan tidak terbit, ada rapat di kediaman Aspri Presiden Jendral Sudjono Humardani, dihadiri pemimpin umum dan pemimpin redaksi Pelita serta Menpen yang sudah ganti orang, yang memutuskan Pelita boleh terbit lagi tapi dengan pimpinan baru. Saya “diangkat” menjadi staf ahli Pemimpin Umum, yang dalam praktek tidak punya meja, tidak jelas tugasnya dan tidak digaji. Saya faham, sebetulnya saya dipecat. Saya digusur dari profesi saya sebagai wartawan. Saya tidak memperoleh hak apapun atas pemecatan berselubung pengangkatan itu.
Di luar urusan kerja jurnalistik, Slamet Effendi Yusuf bersama Ichwan Sam dan Masdar Farid Masudi, para alumni IAIN Yogya itu, terlibat dalam aktivitas orang-oang muda NU yang resah melihat perkembangan NU.
Sejak tahun l973 begitu berfusi politik dalam PPP, “jenis kelamin” NU tidak jelas lagi. NU sebagai partai politik sudah tidak lagi, karena organisasi politik yang dibenarkan keberadaannya hanya Golkar, PPP dan PDI. Fusi politik NU ke dalam PPP bersamaan dengan penegasan NU kembali sebagai organisasi kemasyarakatan Islam. Tetapi dalam praktek cuma aktifitas politik yang dikerjakan para tokohnya. Program jamiyah, seperti menggalakkan kegiatan pendidikan, dakwah, kegiatan sosial ekonomi dan keagamaan, tidak juga disentuh dengan semestinya.
Ketika itu sampai-sampai kantor NU “pindah” ke Gedung DPR-RI. Para anggota pengurus besar hariannya hari-hari di situ, karena hampir semua menjadi anggota DPR. Kantor benerannya di Kramat Raya 164 dibiarkan merana. Halaman gedung itu menjadi pangkalan gerobak dorong pedagang kaki lima. Suasana dalam gedung menjadi seperti “rumah hantu”, sarang laba-laba menghiasi berbagai bagian ruangan.
Kantor NU ramai dan sibuk hanya ketika menyongsong pemilihan umum. Ketika memasuki fase penyusunan calon untuk pemilu, ormas ini tiba-tiba saja persis seperti parpol, repot banget menyusun daftar calon. Orang-orang berdatangan dari daerah. Khawatir susunan calon di daerahnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Padahal ujung-ujungnya penentunya Dewan Pimpinan Pusat-PPP. Bahkan, dalam prakteknya sebagian sangat kecil orang DPP saja yang paling menentukan. Mereka yang punya peluang berselingkuh dengan kekuasaan untuk menyingkirkan orang yang tidak diinginkan penguasa. dari daftar calon jadi
Zaman itu zaman pemilu mudah ditebak. Siapa berada dalam daftar calon antara nomor satu sampai nomor sekian di propinsi A, misalnya, maka pasti akan terpilih menjadi anggota legislatif.
Ketika PBNU sedang porak poranda itulah seumlah orang-orang muda yang sangat concern terhadap hidup dan berkembangnya NU, berusaha beraktifitas bersama membangun NU. Slamet Efendi termasuk di antara mereka.
Dr. Fahmi Saifuddin yang juga dosen UI menjadi motor gerakan ini. Bagaimana cara dia melakukan, antara lain seperti yang saya alami. Pagi sekali, sebelum ke kampus, dia datang ke rumah saya. Waktu pagi yang pendek itu, saya juga sedang aktif-aktifnya ikut memimpin harian Pelita sehingga juga harus ngantor, dimanfaatkannya untuk membangun semangatku kembali mikiri dan ngurusi NU lagi. “Nggak cukuplah mas membantu NU dengan hanya menulis berita tentang NU doang,” ujarnya suatu hari. Begitu gigihnya dia, akhirnya saya terlibat penuh. Bahkan juga menjadi fasilitatornya. Diskusi dan rapat-rapat diselenggarakan paling sering di rumah saya. Kelompok yang dibangun Fahmi itu akhirnya dikenal dengan nama Kelompok G, mengambil nama jalan (lama) tempat rumah saya berada. Nama kelompok itu Fahmi juga yang mencanangkan.
Dalam kelompok ini selain Fahmi dan saya, ada Umar Basalim, Slamet Effendi, Ichwan Sam, Masdar Farid Masudi. Belakangan kami ajak Abdurrahman Wahid. Salahuddin Wahid telah ikut serta sejak agak awal menangani publikasinya, Jurnal Khittah. Macam-macam ikhtiar kami dilakukan.
Awal-awalnya, selain fakta-fakta di depan mata kami, gagasan ini muncul dari beberapa warga NU yang merasa prihatin terhadap perkembangan NU waktu itu. Dalam berbagai percakapan yang mereka lakukan sejak akhir 1970-an, mulai kelihatan berbagai hal yang dapat disebut sebagai “sebab-musabab” mundurnya NU di semua lini perjuangannya. Begitu juga banyak hal yang sudah tercapai terbengkalai. Yang di tangan terlepas, sementara tangan seolah-oleh menggapai-gapai hendak mencari sesuatu yang sebenarnya bukanlah masalah pokok bila dilihat dari maksud dan tujuan kelahiran NU di tahun l926.
Masalah yang dirasakan oleh beberapa warga NU itu tenyata juga dirasakan warga NU yang lain. Bukan saja yang ada di Jakarta tetapi juga yang berada di daerah-daerah. Pada lapisan pimpinan maupun warga biasa. Di antara merekalah yang pada tanggal 12 Mei l983 berkumpul di Jakarta. Karena mereka terdiri 24 orang, maka disebut “Majlis 24”. Mereka berfikir, bicara dan akhirnya memutuskan untuk membentuk satu tim, yang kemudian disepakati namanya: Tim Tujuh Untuk Pemulihan Khittah NU 1926.
Mereka yang berada dalam “Majlis 24” adalah K.H. Sahal Mahfudz, H. Mustofa Bisri, Dr. Asep Hadipranata, H. Mahbub Djunaidi, H. Abdurrahman Wahid, Drs.H.M. Tholchah Hasan, Drs. H.M Zamroni, dr. H. Muhammad Thohir, dr. Fahmi D. Saifuddin, H.M. Said Budairy, Abdullah Syarwani, S.H., H.M. Munasir, K. Muchith Muzadi, H.M. Saiful Mudjab, Drs. H. Umar Basalim, Drs. H. Cholil Musaddad, Ghaffar Rahman, S.H., Drs.H. Slamet Effendy Yusuf, Drs. Muhammad Ichwan Sam, Drs.H. Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, H.M. Danial Tanjung, A. Bagdja dan Drs. Masdar Farid Mas’udi.
Adapun yang disepakati duduk dalam Tim Tujuh Untuk Pemulihan Khittah NU 1926 adalah, H. Abdurrahman Wahid dan Drs. H. Zamroni sebagai ketua dan wakil ketua, H.M. Said Budairy sebagai sekretaris dengan anggota-anggota H. Mahbub Djunaidi, dr. H. Fahmi D. Saifuddin, H.M. Danial Tanjung dan A. Bagdja.
Eksistensi Tim ditentukan 5 bulan sejak terbentuknya, bila apa yang diamanahkan oleh “Majlis 24” mengenai penyusunan konsep telah selesai dikerjakan.
Slamet Effendi Yusuf tidak termasuk dalam Tim Tujuh, tapi dia menjadi sosok penting yang membuat Tim dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tepat waktu. Sementara sebagian anggota Tim ada yang tidak punya waktu untuk dapat melaksanakan perannya.
Proses yang ditempuh di antaranya ialah, melakukan komunikasi melalui surat menyurat serta melalui media yang diterbitkan Tim, jakni “Jurnal Khittah”. Hampir semua yang dilakukan Tim , termasuk pertemuannya dengan semua tokoh teras NU (pengurus maupun bukan pengurus), diskusi dengan berbagai lapisan warga NU, serta berbagai kegiatan secara teratur telah disampaikan kepada “Majlis 24” maupun berbagai eksponen NU di hampir semua daerah di seluruh Indonesia. Bahkan juga dikomunikasikan kepada warga NU yang berada di luar negeri.
Eksponen-eksponen NU yang memperoleh bahan-bahan dari Tim Tujuh, berupa catatan tentang pertemuan “Majlis 24” serta “Jurnal Khittah” atau surat-surat yang dibuat Tim Tujuh, ternyata memberikan tanggapan yang amat menggembirakan. Banyak yang merespon dengan sumbangan-sumbangan pikiran yang sangat berharga bagi pekerjaan yang dilakukan oleh Tim. Menggunakan semua bahan-bahan yang terkumpul itulah kemudian konsep awal “Kembali ke Khittah NU l926” disiapkan oleh Slamet Effendi Yusuf. Setelah dimatangkan bersama, konsep “Kembali ke Khittah NU 1926” masuk dalam agenda dan disetujui oleh Munas Alim Ulama NU yang berlangsung pada tanggal 13 – 16 Rabiul Awal 1404 H bertepatan dengan tanggal 18 – 21 Desember 1983, diselenggarakan di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Keputusan Munas Alim Ulama itu kemudian, sesuai dengan ketentuan organisasi NU, disahkan sebagai keputusan Muktamar NU XXVII, yang berlangsung setahun kemudian di tempat yang sama.
NU melalui perjalanan up and down-nya telah berkembang seperti sekarang. Konsisten tidak menjadi partai politik, tidak punya hubungan organisatoris dengan partai manapun dan terus menggalakkan missi seperti digariskan pada awal berdirinya. Dan terus bertahan dan berkembang sampai sekarang. Berangkat dari konsep kesepakatan kembali ke khittah 1926 itu.
Para yang terlibat dalam “Majlis 24” sebagian telah berpulang ke rahmatullah. Di antaranya ialah motor awalnya gerakan dr. H. Fahmi Saifuddin. Juga Drs.H. Zamroni, H. Mahbub Djunaidi, Drs. Musa Abdillah, H.M.Munasir.
Sebagian lagi melanjutkan peran pengabdiannya. Kiai Sahal Mahfudz menjadi Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI, yang Sekretaris Umum-nya Ikhwan Sam. Kiai Tholhah Hasan selesai menjadi Menteri Agama sekarang Wakil Rais Aam PBNU. Kiai Mustofa Bisri menjadi salah seorang Mustasyar PBNU, sambil terus menjadi kiai seniman. Masdar Farid Mas’udi menjadi salah seorang ketua Tanfidiah PBNU. Mustofa Zuhad menangani bidang ekonomi yang terkait juga dengan NU. Umar Basalim menjadi Rektor Universitas Nasional di Jakarta. Abdullah Syarwani baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Besar RI di Lebanon. Abdurrahman Wahid selesai sebagai Presiden RI lantas menjadi penentu dalam Partai Kebangkitan Bangsa. Slamet Effendi melanjutkan karirnya sebagai politisi di DPR-RI.
Slamet Effendi Yusuf bertemu saya pertama kalinya ketika masih berusia 29 tahun. Sekarang saya diberi kesempatan ikut mengisi buku biografi ini dalam rangka memperingati usianya yang genap 60 tahun. Sudah 39 tahun bersahabat. Di luar ketemu dalam banyak kegiatan, sedikitnya setiap lebaran keluarga Slamet Effendi datang bersilaturahmi ke rumah. Terakhir sekalian membawa cucunya. Kunjungannya selalu bersama Dra. Aniroh, satu-satunya istrinya. Saya sampaikan selamat genap berusia 60 tahun, semoga panjang usia dan bermanfaat. Amin.


Tidak ada komentar: