Oleh M. Said Budairy
Sebagai wartawan ia pernah memimpin sebuah suratkabar. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dia juga kolomnis di banyak penerbitan pers. Salah satunya dan yang paling istiqomah di harian Kompas.
Jakob Oetama, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kompas yang kenal secara pribadi, mengamati Mahbub mencapai formatnya yang optimal sebagai wartawan, justru ketika ia bebas dari beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat dan sebagai aktivis partai atau keorganisasian lainnya. Mahbub menulis untuk rubrik Asal-Usul harian Kompas selama 9 tahun tanpa jedah, sambil masih juga diminta penerbitan pers lainnya menulis topik-topik tertentu. Sebagian tulisan-tulisannya, lebih dari 100 judul telah diterbitkan menjadi buku 'Mahbub Djunaidi Asal Usul'. Memberikan pengantar pada buku tersebut Jakob Oetama menulis, pengalaman dan pertumbuhan Mahbub Djunaidi itu mengajarkan kepada masyarakat pers. Wartawan dan kewartawanan tumbuh bukan karena seseorang menjadi pimpinan sebuah penerbitan pers, melainkan karena ia menulis berita dan membuat ulasan atas kejadian serta permasalahan, karena kreativitas dan karya tulis serta produk jurnalistik lainnya. Ia berharap buku tersebut ikut memperkaya kepustakaan jurnalisme Indonesia serta sekaligus membangun tradisi bahwa warisan yang berharga adalah karya.
Maret l994, satu setengah tahun sebelum ia meninggal dunia, tabloid Detik mengirim wartawannya Saifullah Yusuf (sekarang Ketua Umum PP Pemuda Ansor dan anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI) bersama seorang seorang wartawan lainnya untuk mewawancarai Mahbub. Dia ditanya tentang masalah suksesi kepemimpinan nasional, "Mengapa tidak etis membicarakan suksesi?. Suksesi bukan masalah etis tidak etis. Tapi masalah bagaimana kehidupan kita bersama di waktu mendatang. Saya setuju membicarakan pembatasan masa jabatan Presiden, karena orang yang terlalu lama menjabat, cendrung menyalahgunakan kekuasaannya karena terlanjur mapan," ujarnya. Waktu itu, 5 tahun sebelum memasuki era reformasi, amat tabu bicara perkara suksesi kepemimpinan nasional. Mahbub tidak perduli, kendati sudah pernah masuk rumah tahanan..
Mahbub Djunaidi salah seorang yang dikenal baik oleh Presiden Soekarno. Dialah yang mula-mula menulis, bahwa Pancasila lebih sublim dari Declaration of Independence-nya Thomas Jefferson dan Manifesto Komunis-nya Karl Marx dan Friedrich Engels. Bung Karno memidatokan di banyak kesempatan, bahwa Pancasila adalah sublimasi dari deklarasi dan manifesto tersebut.
Tentang kedekatannya dengan Bung Karno, dia bilang Bung Karno memang dekat dengan banyak orang. Beliau orangnya terbuka, tidak birokratis. Maka dulu, kapan saja kita bisa berdiskusi dengan beliau berjam-jam. Ia mengagumi Bung Karno karena presiden yang satu ini memiliki visi yang jelas. Jangkauan pemikirannya jauh ke depan. Dan mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasannya secara luar biasa. Dan gagasan Bung Karno yang terpenting menurut Mahbub, komitmen yang kuat terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. "Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang. Selain itu Bung Karno memiliki keperdulian yang besar terhadap kehidupan rakyat kecil. Beliau itu dekat dengan rakyat," ujar Mahbub. Dia tidak melihat Soekarno otoriter. Hanya gaya kepemimpinannya berapi-api.
Kepada anak-anak Soekarno, Mahbub menyatakan sesekali ia bersurat-suratan dengan Guntur, tapi tidak intens. Menurutnya, di antara anak-anak Bung Karno, yang paling kuat potensi kepemimpinannya adalah Guntur. Sayangnya dia tidak mau terjun ke politik. Dengan Rachmawati dia sering berkomunikasi melalui surat atau bertemu langsung jika sedang ke Jakarta (Mahbub terakhir berdomisili dan meninggal dunia di Bandung). Menurut Mahbub, dari segi pemikiran Rachmawati paling dekat dengan pemikiran bapaknya. Sampai sekarang dengan YPS (Yayasan Pendidikan Soekarno)-nya, dia masih terus konsisten dengan ideologinya itu. Barangkali secara politis kelihatannya dia kaku. Itu karena keteguhannya terhadap prinsip-prinsip yang diyakininya. Tapi secara pemikiran ideologis dia paling matang.
Mahbub sempat ditanya oleh pewawancara, apakah ia melihat Megawati bisa sebesar Bung Karno. Menurut Mahbub, kalau melihat kemampuannya Mega tidak bisa disamakan dengan Bung Karno. Juga, Mega itu lemah lembut sedangkan Bung Karno berapi-api.
Mahbub memasuki lingkungan Nahdlatul Ulama pertama-tama karena ayahnya seorang tokoh NU DKI Jakarta. Dia bergabung melalui organisasi pelajarnya, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Berlanjut menjadi Ketua Umum (pertama) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kemudian menjadi salah seorang Ketua Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor. Ke tiga organisasi tersebut merupakan organisasi-organisasi kader yang melahirkan pemimpin-pemimpin organisasi NU, di pusat maupun daerah-daerah. Dari PP Pemuda Ansor Mahbub masuk ke dalam jajaran pimpinan NU menjadi Wakil Sekjen, kemudian menjadi salah seorang Ketua PBNU dan terakhir sebagai salah seorang Mustasyar/Penasehat PBNU. Dia tetap diingat oleh generasi-generasi sesudahnya, karena karya-karyanya yang konkrit dalam berbagai posisi dan jabatan keorganisasian tersebut.
Mahbub tergolong tokoh NU yang menginginkan NU kembali menjadi partai politik. Ia termasuk tokoh penggembos PPP, karena melihat orang NU dalam PPP dipojok-pojokkan terus oleh H.J. Naro, ketua umum PPP dari MI waktu itu. Ia menyatakan siap terjun kembali ke dunia politik praktis jika NU kembali jadi partai. Ini diucapkannya menjawab pertanyaan wartawan yang mewawancarainya, pada bulan Maret l994.
Ketika menjelang Muktamar PPP terdengar bahwa Abdurrahman Wahid banyak dapat dukungan untuk menjadi Ketua umum PPP dan reaksi Gus Dur-pun tidak serta merta menolak, Mahbub bilang, Gus Dur jangan jadi Ketua Umum PPP. Sebab kalau itu dilakukan , dia tidak konsisten. Kan dulu dia juga yang menentang Yusuf Hasyim jadi ketua umum PPP.
Alasannya kenapa dia berkeinginan agar NU kembali menjadi partai politik, karena NU jumlah umatnya sangat besar. Itu merupakan potensi politik yang penting. Juga, sejak kelahirannya NU selalu bersentuhan dengan politik. Karena itu mengapa NU tidak berpolitik secara langsung saja ?. Mahbub, dalam kaitan kembali ke khittah NU l926, menginginkan kembali ke Khittah NU l926 plus. Dan plusnya ya politik itu.
Di sekitar waktu Pemilu l977, Mahbub banyak menerima undangan untuk berbicara di Jakarta dan daerah-daerah. Dia juga keluar masuk kampus, memenuhi undangan para mahasiswa. Iapun banyak bicara tentang suksesi kepemimpinan nasional menjelang SU-MPR l978. Dan akibatnya Mahbub ditangkap, ia disimpan di rumah tahanan Nirbaya. Dari Nirbaya dilanjutkan menjadi pasien tahanan di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Hampir setahun mendekam tanpa diproses lewat pengadilan, sehingga tidak jelas pula kesalahannya apa. Dia mulai terus sakit-sakitan sekeluarnya dari tahanan pemerintahan Soeharto tersebut.
Mahbub Djunaidi telah tiada ketika Abdurrahman Wahid (ketika itu menjabat Ketua Umum PBNU) bersama beberapa orang tokoh NU mendeklarasikan lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa. Gus Dur tidak menjadi ketua umumnya, tapi Matori Abdul Jalil. Dalam muktamar pertama PKB, Gus Dur juga tidak mnyediakan diri menjadi ketua umum, melainkan memilih menjadi ketua Dewan Syuro PKB, yang bewenang menunjuk siapa yang menjadi ketua umum PKB.
Sementara tokoh NU lainnya, K.H. Yusuf Hasyim, mendeklarasikan Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan K.H. Syukron Makmun mendirikan Partai Nahdlatul Umat (PNU). Ketiga partai tersebut, PKB, PKU dan PNU berbasis warga NU. Ormas Nahdlatul Ulama sendiri, jika berpegang teguh pada khittahnya, seharusnya tidak punya hubungan organisatoris, terselubung atau terang-terangan dengan ketiga partai politik tersebut. Sebaliknya, NU harus merelakan warganya memasuki partai-partai yang manapun.
Kalau saja Mahbub memperoleh kesempatan dan bersedia menduduki suatu jabatan resmi pemerintahan, agaknya dia akan terjauh dari berbagai libatan skandal atau gate-gate itu. Pandangan Mahbub tentang kebendaan, tercermin dalam surat kepada keluarganya yang dikirim dari Rumah Sakit Gatot Subroto. Mahbub menulis, "Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai (kamar rumah sakit-pen).Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan. Benda sama sekali tidak menjamin kebahagiaan hati. Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun juga. Papa orang yang banyak makan garam hidup. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan." (M. Said Budairy, wartawan/Direktur Lakpesdam PBNU 1989 - 1995).
Rabu, 12 Maret 2008
Mengenang Mahbub Djunaidi
Subchan Z.E. Tokoh Muda Aneka Citra
Oleh M. Said Budairy*
Senin, 25 Februari 2008
KHM Yusuf Hasyim - Tegar Tak Kenal Lelah
Oleh M. Said Budairy
Salahudin Wahid (Gus Sholah) kirim SMS tanggal 8 Januari 2007, “Mohon doa. Kondisi Pak Ud menurun. Sekarang masuk ICU. Terimakasih”.
Pak Ud adalah panggilan akrab KHM Yusuf Hasyim. Segera saya balas, “Di ICU mana mas Sholah. Beberapa hari yang lalu nelpon saya sambil cerita kalau habis terjatuh lagi.”.
Mas Dulhak saudara sepupu Salahudin Wahid, cucu KH Hasyim Asy’ari. Dia putera dari kakak perempuan KH Wahid Hasyim yang menikah dengah KH Idris dari Cirebon. Saya berteman baik juga dengan dia dan menyesal baru tahu dia wafat setelah lewat seminggu. Melalui SMS kepada Gus Sholah saya minta, ”.... tentang Pak Ud tolong saya terus dikabari. Saya hormat dan sangat mencintai dia”.
..isi dari sebagian artikel..
Seperti yang tergambar melalui percakapan lanjutan lewat telpon sesudah itu, akhirnya saya terima kabar dari Salahudin Wahid pada hari Minggu, 14/01/07, pukul 18.54, ”Pak Ud baru saja wafat. Mohon doa”.
Dengan sedikit bersusah payah akhirnya dari Jakarta saya bisa mencapai Tebuireng tepat ketika jenazah Pak Ud diturunkan ke liang lahat. Berdiri di dekat liang lahat yang sedang ditimbun di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, Jombang, Senin (15/01/07), saya teringat masih menyimpan amanat almarhum. Amanat itu berupa titipan sejumlah kertas kop berikut amplop untuk surat-surat resmi pimpinan pesantren Tebuireng dan scan tanda tangan Pak Ud . Amplop dan kertas surat tinggal beberapa lembar, sedang scan tandatangan masih tersimpan rapi dalam laptop saya sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan ruang kerja di rumah saya dia lengkapi dengan mesin faksimili. Dan dengan pendekatan teknis seperti itu Pak Ud sebagai tokoh nasional dan pimpinan pondok pesantren besar di Jawa Timur, terbantu untuk dapat bergerak cepat dan lincah, terutama ketika menghadapi perkembangan baru dan urusan-urusan di Ibukota Jakarta.
Mustasyar Pondok Pesantren Tebuireng ini lahir di Jombang, 3 Agustus 1929, meninggal dunia karena sakit pada hari Minggu, 14 Januari 2007 pukul 18.40 di Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya. Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat membesuknya sehari sebelum Pak Ud wafat, Sabtu (13/1). Sebelum di RSU Dr Soetomo, Pak Ud dirawat di RSUD Jombang.
Senin pagi hari pemakaman itu, para pelayat memadati halaman pesantren dan seputar makam. Pelayatnya para kiai dari banyak pesantren, warga dan tokoh-tokoh NU termasuk Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi. Hadir pula banyak tokoh politik dari Jakarta. Menteri Agama dan istri terlihat di antara pelayat. Acara pemakaman diwarnai upacara militer. Dalam ketentaraan Pak Ud aktif pada perang kemerdekaan dan penumpasan pemberontakan PKI Madiun. Karangan bunga memenuhi halaman pesantren dan di sekitar makam keluarga. Di antaranya datang dari Pangdam Brawidjaya, Megawati, sejumlah partai politik PKB, PPP, PKS dan sebagainya.
Minggu terakhir Desember sebelum masuk rumah sakit Pak Ud masih sempat menelpon saya, memberitahu tidak bisa memenuhi permintaan untuk mengisi buku biografi KH Basori Alwi (80 tahun), pemimpin Pesantren Ilmu Al Quran, Singosari Malang. Saya bersama sejumlah santrinya Kiai Basori memang sedang menyusun buku biografi tersebut. Dalam bertelpon itu Pak Ud juga bilang kalau baru saja terjatuh lagi di rumahnya. Saya perhatikan, salah satu gejala penyakit Pak Ud suka terjatuh. Dua tahun yang lalu, ketika NU menyelenggarakan muktamar, Pak Ud juga terjatuh di hotel tempatnya menginap. Sempat sebentar dirawat di salah satu rumah sakit di Solo. Kejadian seperti itu berulang dan terakhir yang diceritakan lewat telpon itu.
Aktif di Jakarta
Sekitar tahun l960-an Pak Ud mulai lebih banyak berada di Jakarta. Ia sering menginap di kantor Pemuda Ansor yang waktu itu berlokasi di Jl. Pegangsaan Timur 46, Jakarta Pusat. Yang menetap atau sering ngepos di situ warga NU bekas tentara Pak Munasir Ali (ayahanda mantan menteri Rozy Munir), Pak Ud, seorang veteran biasa dipanggil Mbah Tohir. Juga tokoh-tokoh Ansor seperti AA Murtadho yang kemudian jadi Dubes RI di Bagdad. Chalid Mawardi, yang kemudian jadi Dubes RI di Syria. Aminuddin Aziz yang kemudian jadi menteri dan Dubes RI di Saudi Arabia. Mahbub Djunaidi yang kemudian menjadi anggota DPR, Ketua Umum PMII dan Ketua Umum PWI.. Saya termuda waktu itu. Pergaulan kami begitu akrab, punya minat dan perhatian yang banyak kesamaannya. Anak muda sekarang mungkin menamai kelompok kami ”geng”. Dari tempat itu urusan-urusan Pucuk Pimpinan Pemuda Ansor, Pimpinan Pusat PMII, Perwakilan PP IPNU dan organisasi IKABEPI (Ikatan Keluarga Bekas Pejuang Islam) kami tangani.
Pak Ud tokoh politik yang tegar dan kokoh memegang pendiriannya. Itu dibuktikan ketika menghadapi perubahan besar dalam salah satu penggal perjalanan sejarah bangsa.
Kisahnya, Bung Karno membubarkan Majelis Konstituante pada tanggal 5 Juli 1959 dan mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Berlanjut kemudian membubarkan DPR-RI hasil Pemilu 1955 pada bulan Maret 1960, lalu membentuk dewan baru, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Komposisi keanggotaannya separuh dari partai politik, separuhnya lagi dari golongan fungsional. NU mengajukan Pak Ud menjadi anggota DPR-GR dari unsur fungsional pemuda (ketika itu usianya baru sekitar 30 tahun). Pak Ud menolak, tidak bersedia. Sejumlah tokoh lainnya yang diajukan oleh NU juga menolak.
Ketika itu NU sedang mengalami perpecahan pendapat mengenai keabsahan keikutsertaan dalam DPR-GR. Satu pihak, antara lain KH Bisi Sansuri yang juga salah seorang pendiri NU bersama Kiai Dahlan, Mr. Imron Rosyadi dan KH Ahmad Siddik menolak ikut serta. Kelompok ini menganggap DPR-GR anti demokrasi. Bahkan Kiai Bisri menganggap ikut serta dalam DPR yang tidak seluruhnya dipilih rakyat, bertentangan dengan fiqih.
Di pihak lain KH Wahab Hasbullah, pendiri NU dan masih bersaudara misan dengan Kiai Bisri, menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi NU. Ia memaparkan mulai dari kemungkinan dilarangnya NU hingga keluarnya partai NU dari pemerintahan. Baginya, ummat Islam belum siap untuk menempuh politik konfrontasi dengan penguasa. Sedangkan kalau NU masuk DPR-GR, jika tidak sesuai lagi dengan maksudnya bisa dengan mudah keluar dari dewan tersebut.
Sejumlah dalil menjadi dasar penguat pendirian yang kedua itu. Masuk DPR-GR bertujuan melakukan kontrol dan koreksi terhadap kesalahan yang mungkin dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Artinya menganjurkan yang baik dan melarang yang jelek. Dasar lain yang digunakan kaidah fiqih, dar ’ul- mafasid muqaddamun ’ala jalbil masalih, mengutamakan menghindari bahaya dari pada memperoleh keuntungan dan ma la yatimmul wajib illa bihi fa hual wajib, syarat untuk dapat melakukan kewajiban hukumnya wajib, serta mala yudraku kulluh la yutraku kulluh, kewajiban tidak boleh ditinggal dengan alasan tidak dapat melakukan sepenuhnya.
Perbedaan pendapat itu berakhir dengan kesepakatan menyerahkan kepada warga NU yang terkait untuk memilih salah satu dari dua pendapat tersebut.
Berlangsung hampir 3 tahun kursi yang disediakan untuk Pak Ud di DPR-GR tetap kosong. Sampai akhirnya suatu pagi saya diberitahu oleh KH Saifuddin Zuhri, Sekjen Partai NU, bahwa rapat NU malam harinya memutuskan untuk mengisi kursi kosong tersebut dan mengajukan nama saya sebagai pengganti. Beberapa kali saya memperbincangkan keputusan NU tersebut dengan Pak Ud. Dan akhirnya saya menggantikannya, dilantik sebagai anggota DPR-GR tahun 1963.
Contoh keteguhan Pak Ud memegangi sikapnya lagi yaitu dalam menghadapi PKI. Dia tidak bisa berkompromi dalam menghadapi gerakan politiknya PKI. Pengalamannya yang membikin seperti itu. Dalam berbagai kesempatan Pak Ud suka mengungkap kembali pengalamannya ketika pada 1948 memimpin pasukan ikut berusaha merebut kembali Madiun yang diduduki oleh PKI . Pak Ud sempat menyaksikan dengan matakepala sendiri mayat sejumlah kiai korban keganasan pemberontak PKI di Madiun. Ditambah lagi pengalaman sebagai pimpinan puncak Barisan Serba Guna (Banser) Ansor. Menjelang pertengahan l960-an Pak Ud juga berhadapan langsung dengan gerakan aksi sepihak Barisan Tani Indonesia (BTI)-nya PKI yang menjarah tanah dan sawah para petani yang bukan PKI.
Itu pula agaknya yang menjadi pendorong Pak Ud ketika sudah sakitan masih tidak mau diam. Ada UU tentang Kebenaran dan Rekonsiliasi. Untuk melaksanakannya perlu dibentuk KKR, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Calon anggota KKR sudah terpilih sebanyak 44 orang. Langkah selanjutnya, Presiden harus memilih 22 dari 44 calon tersebut. Tapi oleh Presiden tidak kunjung ditetapkan. Ketika ada pihak yang mendesak agar KKR secepatnya diwujudkan, pihak yang sebenarnya keberatan terhadap UU itu memohon agar Mahkamah Konstitusi menguji UU tersebut apakah tidak melanggar konstitusi. Pak Ud termasuk yang mengajukan permohonan itu, dalam keadaan kondisi kesehatannya sudah payah. Kalau dilaksanakan, UU tersebut bisa membuka peluang bangkitnya lagi PKI. Dan ternyata hasil uji MK menyatakan UU tersebut tidak sejalan dengan konstitusi dan sebab itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum..
Suksesi yang Mulus
Pak Ud sudah berpuluh tahun mengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Delapan bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 13 April 2006, dia menyerahkan tongkat kepemimpinan Pondok Pesantren Tebuireng kepada keponakannya, KH Salahudin Wahid (Gus Sholah). Acara penyerahan digelar bersamaan Tahlil Akbar dan Pertemuan Alumni Ponpes Tebuireng. Dalam kesempatan itu Pak Ud menyatakan, sudah saatnya Ponpes Tebuireng melakukan regenerasi pada pucuk pimpinan. Ini diperlukan agar terjadi proses yang sehat dalam tradisi suksesi. "Itulah sebabnya, beberapa waktu lalu saya mengajukan permintaan pengunduran diri dari pimpinan Tebuireng. Alasannya, karena usia saya pada tahun ini sudah mencapai 77 tahun. Kedua, saya ingin menciptakan tradisi regenerasi pimpinan yang berjalan mulus,'' ujarnya dalam pidato sambutan.
Dengan usia 77 tahun, menurut Pak Ud, dia menjadi pimpinan tertua di kalangan ponpes se-Kabupaten Jombang. ''Dengan pertimbangan itu, saya sudah bulat mengajukan pengunduran diri yang dibahas beberapa kali di internal keluarga besar Bani Hasyim Asy’ari dan internal Pondok Pesantren Tebuireng. Semuanya sepakat dengan pengganti Gus Sholah, yang tidak lain keponakan saya sendiri,'' ujar Pak Ud.
Tidak berapa lama setelah penyerahan pimpinan, Pak Ud juga meninggalkan ''rumah dinas'' yang disebutnya sebagai dalem kasepuhan, yang dulunya rumah pribadi almarhum KH Hasyim Asyari. Dia pindah ke kediaman pribadinya, di Cukir, masih dekat pondok pesantren.
Kepada Gus Sholah, Pak Ud meminta agar istiqamah dan berpegang teguh pada semangat perjuangan pondok yang digariskan mendiang KH Hasyim Asy’ari. Gus Sholah, mengaku siap memimpin pondok dengan sekitar 7 ribu santri tersebut. Dia juga punya keinginan bisa pulang ke Jombang, daerah kelahiranya. ''Karena keinginan itu, saya menolak ketika ditawari menjadi Dubes RI untuk Aljazair. Saya lebih memilih memimpin pondok ini,'' ujarnya.
Dalam silsilah keluarga Bani Hasyim Asy’ari, Gus Sholah merupakan cucu dari pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan pendiri NU tersebut. Dia putra almarhum KH Wahid Hasyim.dan Ibu Solichah binti Bisri Sansuri..
Upacara pemakaman Pak Ud diakhiri penyampaian talkin dan doa oleh KH Maimun Zuber dari Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Penyampaiannya terasa sebagai monolog yang akrab. Disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih dan jernih. Pak Ud yang sudah bersemayam di dalam kubur disebutnya sebagai akhi fillah.
Pak Ud sudah tenang di alam kuburnya. Semoga Allah mengampuni segala dosanya, memaafkan kesalahannya, menerima segala amal baiknya dan memberi tempat yang layak disisi Nya. Amin.
Mengenang Sahabat Fahmi Saifuddin
Oleh M. Said Budairy
Catatan:
Memenuhi permintaan Yayasan Saifuddin Zuhri, saya menorehkan tulisan kenangan dalam buku Dokternya NU. Buku yang diterbitkan untuk mengenang tokoh Dr. Fahmi Dja’far Saifuddin
Rais Syuriah PBNU Irfan Zidni, MA mengatakan, ada tiga sifat yang menonjol pada diri Dr. Fahmi Dja'far Saifuddin, MPH dalam menjalani hidup berkhidmah di tengah masyarakat. Ketiga sifat itu ialah ikhlas, t ekun dan sabar.
Ucapan KH Irfan Zidni itu dikemukakan dalam memberi sambutan sesaat setelah liang lahat ditimbun, tahlil dan talkin selesai dibacakan, pada acara pemakaman Dr. Fahmi Dja'far Saifuddin, MPH pada hari Minggu, 3 Maret 2002, di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.
..isi dari sebagian artikel..
Saya sependapat dengan penilaian yang diberikan oleh KH Irfan Zidni. Jika saya telusuri kembali kenangan lebih dari 30 tahun bergaul dengan almarhum, memang itulah sifat-sifat yang menonjol dalam hidupnya.
Kisah hubungan saya dengan almarhum Fahmi cukup panjang. Semula saya lebih dekat dengan ayahandanya, almaghfurlah KH Saifuddin Zuhri. Selain sebagai kader NU, hubungan saya dengan tokoh besar NU Pak Saifuddin Zuhri lebih dipererat lagi karena hubungan profesi. Saya dipercayai sebagai Wakil Pemimpin Redaksi harian Duta Masyarakat, korannya Partai NU. Beliau Pemimpin Umumnya dan Mahbub Djunaidi Pemimpin Redaksi.
Sebagai ayah, jamak perhatian lebih besar tertumpah pada perkembangan anak pertama. Anak pertamalah yang paling dekat menjadi pengganti dirinya ketika harus meninggalkan dunia fana. Paling dekat menggantikan peran ayah bagi adik-adiknya. Apa lagi Pak Saifuddin Zuhri juga mengidamkan Fahmi tidak sekedar menggantikan dirinya sebagai orang tua adik-adiknya, melainkan sekaligus menjadi penerusnya dalam berkhidmah kepada masyarakat NU dan bangsa.
Paroh kedua tahun l960-an Pak Saifuddin bilang kepada saya, "Tolong, titip-titip Fahmi". Itu diucapkannya ketika Fahmi mulai berkiprah dalam kepengurusan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Pada kesempatan lain, setengah bercanda, Pak Saifuddin bilang kepada Mahbub Djunaidi dan saya, "Beri tahu Fahmi, biar begini-begini saya juga kepingin punya menantu yang cantik". Ketika itu Fahmi sedang mulai memasuki masa berpacaran.
Awal l980-an lagi-lagi Pak Saifuddin berpesan lewat saya, "Saya lebih senang dikenal banyak kalangan karena menjadi ayahnya Fahmi, dari pada Fahmi menjadi terkenal karena dia anak saya. Beritahukan kepada Fahmi"
Beberapa tahun kemudian, ketika baru mulai sakit-sakitan, di lantai bawah gedung (lama) PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Pak Saifuddin bilang, "Keinginan saya agaknya sudah bakal terpenuhi." Ketika itu Dr. Fahmi Dja'far Saifuddin MPH sebagai Ketua PBNU sedang memimpin rapat di lantai dua gedung tersebut.
Suatu ketika saya sudah malas ikut-ikut memikirkan NU, kendati kecintaan saya kepada jamiah ini terekam melalui jenjang keorganisasian paling bawah. Mulai dari menjadi anggota Atfal, Kepanduan Ansor, IPNU, PMII, Gerakan Pemuda Ansor, ikut memimpin korannya Partai NU dan selama 8 tahun menjadi anggota Fraksi NU di DPR-GR. Kenapa ? Karena sejak tahun l973 begitu berfusi politik dalam PPP, “jenis kelamin” NU tidak jelas lagi. NU sebagai partai politik sudah tidak lagi, karena organisasi politik yang dibenarkan keberadaannya hanya Golkar, PPP dan PDI. Fusi politik bersamaan dengan penegasan NU kembali sebagai organisasi kemasyarakatan Islam, tetap saja cuma aktifitas politik yang dikerjakan para tokohnya. Program jamiah, seperti menggalakkan kegiatan pendidikan, kegiatan sosial ekonomi dan keagamaan, tidak juga disentuh dengan semestinya.
Ketika itu sampai-sampai kantor NU “pindah” ke Gedung DPR-RI. Para anggota pengurus besar hariannya hari-hari di situ, karena hampir semua menjadi anggota DPR. Kantor benerannya di Kramat Raya 164, dibiarkan merana. Halaman gedung itu menjadi pangkalan gerobak dorong pedagang kaki lima. Suasana dalam gedung menjadi seperti “rumah hantu”, sarang laba-laba menghiasi berbagai bagian ruangan.
Kantor NU ramai dan sibuk hanya ketika menyongsong pemilihan umum. Ketika memasuki fase penyusunan calon untuk pemilu, ormas ini tiba-tiba saja persis seperti parpol, repot banget menyusun daftar calon. Orang-orang berdatangan dari daerah. Khawatir susunan calon di daerahnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Padahal ujung-ujungnya penentunya DPP-PPP. Bahkan, dalam prakteknya sebagian sangat kecil orang DPP saja yang paling menentukan. Mereka yang punya peluang berselingkuh dengan kekuasaan untuk menyingkirkan dari daftar calon jadi orang yang tidak diinginkan penguasa.
Zaman itu zaman pemilu mudah ditebak. Siapa berada dalam daftar calon antara nomor satu sampai nomor sekian di propinsi A, misalnya, maka pasti akan terpilih menjadi anggota legislatif.
Ketika PBNU sedang porak poranda itulah Fahmi yang punya profesi sebagai dokter dan dosen, “turun tangan”. Orang-orang muda yang dia ketahui sebenarnya sangat concern terhadap hidup dan berkembangnya NU, dia rayu untuk mau kembali beraktifitas bersama membangun NU. Saya termasuk di antara yang dia ajak aktif lagi. Dia lakukan itu tanpa pamrih pribadi, dengan semangat pantang mundur. Tekad dia, kalau saja boleh diterjemahkan singkat, vini, vidi, vici.
Bagaimana cara dia melakukan, antara lain seperti yang saya alami. Pagi sekali, sebelum ke kampus, dia datang ke rumah. Waktu pendek itu, saya juga sedang aktif-aktifnya ikut memimpin harian Pelita sehingga juga harus ngantor, dimanfaatkannya untuk membangun semangatku kembali mikiri dan ngurusi NU lagi. “Nggak cukuplah mas membantu NU dengan hanya menulis berita tentang NU doang,” ujarnya suatu hari. Begitu gigihnya dia, akhirnya saya terlibat penuh. Bahkan juga menjadi fasilitatornya. Diskusi dan rapat-rapat diselenggarakan paling sering di rumah saya. Kelompok yang dibangun Fahmi itu akhirnya dikenal dengan nama Kelompok G, mengambil nama jalan (lama) tempat rumah saya berada. Nama itu Fahmi juga yang mencanangkan.
Ketika itu masih ada Mahbub Djunaidi, masih ada Zamroni, keduanya mantan ketua umum PMII. Keduanya juga digoyang-goyang oleh kelompok ini untuk menaruh perhatian terhadap kondisi NU.
Salah satu “akal” Fahmi lainnya untuk menarik perhatian para tokoh, dibuatnya potret beberapa obyek. Difotonya gedung PBNU dari beberapa sisi, termasuk bagian halamannya yang porak poranda penuh gerobak dorong diparkir. Dipotret pula gedung Muhammadiah dan universitasnya, yang terlihat rapi dan tampak aktif. Tidak ketinggalan Rumah Sakit Cikini milik ummat Kristen Protestan dan Rumah Sakit St. Carolus, milik ummat Katolik. Ditentengnya foto-foto itu, lalu bikin program mertamu ke kediaman tokoh-tokoh “besar” NU. Dihadapan masing-masing tokoh itu foto digelar, sambil menyampaikan keperihatinan. Mengadu dengan cara seperti itu ternyata lumayan berhasil pula. Sempat ada tokoh NU yang meneteskan airmata.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang baru saja meninggalkan Tebuireng, Jombang dan memulai hidup di Jakarta, diajak serta. Dan selanjutnya bersama kelompok ini mencari cara "mengaktifkan" jamiah NU lagi.
Nahdlatul Ulama benar-benar mengalami krisis jatidiri. Sebagai organisasi partai politik sudah bukan. Sedangkan merubah diri menjadi organisasi sosial keagamaan baru berupa pernyataan. Prilaku masih tetap saja sepertinya masih sebagai partai politik. Membenahi kondisi seperti itu tidaklah mudah dan butuh waktu cukup panjang.
Bagian dari proses pembenahan itu contohnya ialah, beberapa waktu menjelang penyelenggaraan muktamar ke 25 NU di Semarang tahun l979, kelompok Fahmi ini berusaha membantu menyiapkan berbagai rancangan materi bahasan dan draft awal keputusan-keputusan muktamar. Kelompok orang-orang muda itu menginginkan NU kembali pada fungsi sosial keagamaan, menjauh dari panggung politik tanpa meninggalkannya secara total.
Muktamar akhirnya memang menyepakati untuk mengeluarkan ajakan kembali pada kegiatan sosial keagamaan dan secara resmi menegaskan supremasi para ulama. Semua keputusan pengurus Tanfidziah haruslah merupakan implementasi dari garis kebijakan yang ditetapkan oleh pengurus Syuriah, majelis tertinggi NU penentu kebijakan jamiah.
Keputusan muktamar cukup bagus. Tapi karena kembali lagi yang terpilih menjadi pengurus orang-orang lama juga, maka implementasi keputusan tersebut tidak jalan. Keadaannya kembali seperti sebelum muktamar. KH Bisri Sansuri, Rais Aam PBNU sampai-sampai sempat merasa dicurangi. Pengurus Tanfidziah dinilai sebagai hanya menghendaki lancarnya politik, tidak mengingat isinya politik. Ketika Rais Aam mengajak rapat, ada-ada saja alasan untuk menunda. Tapi ketika sedang tidak ada di Jakarta, keputusan diambil dalam rapat yang tidak dihadiri Rais Aam.
KH Bisri Sansuri wafat pada tanggal 25 April 1980. NU tidak punya Rais Aam hampir selama satu setengah tahun. Pengganti almarhum Kiai Bisri baru ditetapkan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta, pada akhir Agustus l981. Fahmi Saifuddin dan kawan-kawan cukup aktif kali ini untuk ikut mewarnai hasil-hasil musyawarah tersebut. Dan K.H. Ali Maksum, pimpinan Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, ditetapkan sebagai Rais Aam, menggantikan almaghfurlah Kiai Bisri Sansuri.
Awal tahun 1980-an itu beda pandangan di lingkungan NU terpilah menjadi tiga. Kelompok politik akomodasionis yang kemudian dikenal dengan kelompok Cipete. Kelompok Situbondo terdiri dari sub-kelompok politik "garis keras" dan sub-kelompok muda yang menginginkan pembaharuan NU dengan jalan kembali ke khittahnya.
Fahmi adalah tokoh pekerja keras yang menjadi motor kelompok muda pembaharuan itu. Pekerja keras yang tidak gemar publikasi, sehingga tidak banyak orang tahu bahwa mustahil kelompok ini bisa bergerak efektif tanpa peranan dia.
Fahmi dan kawan-kawan, ketika sudah sulit berharap banyak dari peran pimpinan NU hasil Muktamar ke 26 NU di Semarang tahun l979, akhirnya menyelenggarakan pertemuan mengundang 24 orang tokoh dari berbagai daerah. Mereka punya pandangan sama mengenai arah gerak NU ke depan. Pertemuan di Jakarta pada Mei l983 itu, himpunan pesertanya kemudian disebut Majelis 24. Majelis ini melahirkan Tim Tujuh yang bertugas merumuskan pokok-pokok pikiran kembali ke Khittan NU l926.
Proses ini berlanjut sehingga gerak ke depan makin mengkristal. Dalam majelis 24 ini termasuk di dalamnya KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, yang di belakang hari melalui Muktamar NU ke 30 di Kediri terpilih sebagai Rais Aam PBNU.
Rumusan pokok-pokok pikiran kembali ke Khittah NU 1926 mendapat respon positif dari para ulama. Beberapa pokok pikiran itu antara lain menyebutkan, NU bukan sekadar tidak berpolitik praktis, namun juga mengembalikan jajaran Syuriah sebagai tempat menggodok kebijakan. Sementara pengurus Tanfidziah sekadar menjalankan program kerja dari apa yang sudah dihasilkan Syuriah.
Pada tahap ini kelompok mengedepankan Abdurrahman Wahid. Diharapkan dia akan dapat menduduki ketua umum PBNU dalam muktamar berikutnya. Untuk mencapai tujuan itu, diusahakan antara lain dengan menjadikan Gus Dur ketua panitia penyelenggara Muktamar ke 27 NU. Muktamar ini akan mensahkan hasil Munas Alim Ulama NU. Di antara keputusannya kembali ke Khittah NU l926 itu.
Ada tahapan yang harus ditempuh bagaimana Gus Dur bisa memperoleh kepercayaan penguasa dan dikenal luas sebagai bakal tokoh NU.
Selesai penyelenggaraan Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1983, beberapa ulama dipimpin Kiai As’ad Syamsul Arifin menghadap Presiden Soeharto. Tujuannya meminta agar dapat memperoleh izin penyelenggaraan Muktamar ke 27 NU. Dan melaporkan hasil Munas Alim Ulama. Kesempatan itu kami gunakan untuk sekaligus menampilkan ketua panitia penyelenggara muktamar Abdurrahman Wahid. Sebab itu Gus Dur harus dilibatkan.
Pagi itu Gus Dur berangkat dari rumah kontrakannya di kawasan Ciganjur Dia tidak langsung ke kediaman Presiden Soeharto, melainkan ke “markas” kelompok G. Mungkin karena berdesakan di perjalanan, kemeja batiknya jadi lecek. Beruntung masih ada kesempatan dibantu istri saya menyetrika baju batik itu lebih dulu . Baru kemudian berangkat ke Jalan Cendana, tempat kediaman Presiden Soeharto. Menggunakan mobil Fahmi, Gus Dur kami antar. Di kediaman Presiden RI itu Gus Dur bergabung dengan para kiai. Kami berdua, Fahmi dan saya, menunggu di ruang lain.
Didampingi Menteri Agama Munawir Syadzali Presiden Soeharto menerima kunjungan para kiai tersebut plus Gus Dur. Selesai pertemuan, para kiai langsung meninggalkan kediaman Presiden. Tapi Gus Dur, digandeng Pak Munawir, pindah ke ruangan tempat kami berdua menunggu untuk menemui para wartawan yang sudah lama menunggu. Menteri Agama mengumumkan bahwa Presiden menyetujui penyelenggaraan muktamar NU. Sekaligus mengumumkan, ketua panitia penyelenggaranya Abdurrahman Wahid.
Karena Munas Alim Ulama sudah diselenggarakan di Pesantren Salafiyah Syafiiyah-nya Kiai As’ad, maka tempat muktamar belum lagi ditetapkan. Menggunakan pengemudi dan mobil Fahmi, Gus Dur, Fahmi dan saya menemui beberapa kiai, melakukan peninjauan ke beberapa pesantren. Antara lain untuk kembali “menilai” kemungkinan pesantrennya kiai As’ad dijadikan tempat muktamar. Perjalanan panjang Jakarta – Situbondo, sempat memaksa kami menginap seperempat malam di kediaman dokter Muhammad Tohir, Surabaya. Kami memasuki rumah dokter ini menjelang fajar. Kembalinya, setelah meninjau pesantren Buntet dan bertemu almaghfurlah Kiai Mustamid Abbas, perjalanan dilanjutkan dan sempat menginap setengah malam di sebuah masjid yang lokasinya tidak jauh setelah melewati Cimahi dari arah Bandung. Perjalanan ini memberikan kenangan tersendiri. Sempat potret-potretan bertiga segala di tepi pantai, dekat Tuban.
Saya memperhatikan bagaimana peran Fahmi sebagai salah seorang ketua PBNU. Sebagai dokter yang berkeahlian di bidang kesehatan masyarakat, dia jadikan NU sebagai obyek “masyarakat”-nya. Dia dokteri NU melalui pendekatan planning, organizing, staffing dan seterusnya. Dia mencoba membangun sistem manajemen organisasi NU. Suatu usaha yang untuk berhasil sepenuhnya memerlukan waktu panjang. Karena sejak berdirinya sebagai organisasi kaum tradisionalis, NU dikelola secara “lillahi ta’ala”.
Fokus perhatian diarahkan ke pengembangan sumberdaya manusia. Itu sebabnya 3 bulan seusai muktamar Situbondo, sebuah badan baru bernama Lajnah (sekarang berkembang menjadi Lembaga) Kajian Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), didirikan.
Baru mulai jalan, kegiatannya macet karena masalah manajemen. Untuk mulai menghidupkan kembali aktifitas Lakpesdam, Ketua PBNU Abdurrahman Wahid menandatangani MoU kerjasama dengan Duta Besar Amerika Serikat, Paul Wolvowitch. Penandatangan berlangsung di Kedutaan Besar AS, disaksikan K.H. Ali Yafie waktu itu sebagai Wakil Rais Aam PBNU, Fahmi Dja’far Saifuddin, Wakil Ketua PBNU, dan saya sendiri selaku Direktur Lakpesdam yang baru.
Dengan dana bantuan diperoleh dari USAID melalui The Asia Foundation, Lakpesdam dikembangkan baik organisasinya maupun program-programnya. Alumni berbagai macam pelatihan Lakpesdam agaknya ribuan jumlahnya, tersebar di berbagai daerah nusantara. Alumni pengurusnya juga berkembang. Di antaranya Tosari Widjaya, wakil ketua DPR-RI. Lukman Saifuddin, anggota DPR-RI. Maria Ulfah, ketua umum PP Fatayat dan seterusnya. Fahmi sangat concern terhadap lembaga yang satu ini.
Bisa sangat panjang lebar bercerita tentang almarhum Fahmi Saifuddin. Saya ingin mengusulkan ada buku tersendiri tentang biografi Fahmi untuk menjadi contoh prilaku dan semangat orang muda sampai tua, dalam memberikan pengabdian kepada sesuatu yang dicita-citakan. Seingat saya dia tidak punya musuh. Kemampuannya membangun jaringan dan lobby-nya sangat kuat. Hormatnya kepada para ulama sepuh patut dicontoh.
Sepotong kenangan lagi ingin saya tambahkan. Menjelang uktamar ke 29 NU di Cipasung tahun l994, hampir semua teman-teman yang selama itu bekerja sama sejak merancang gagasan kembali ke Khittah NU 1926, menginginkan Fahmi menjadi ketua umum PBNU berikutnya. Gus Dur sudah dua periode , sepuluh tahun, menjadi orang pertama di Tanfidziah NU. Kawan-kawan memandang sebaiknya Gus Dur naik ke Majelis Syuriah, sebagai Wakil Rais Aam. Tujuannya selain agar fungsi Syuriah dapat terlaksana sepenuhnya, juga maqom Gus Dur dipandang sudah kurang pas lagi memimpin badan pelaksana seperti Tanfidziah.
Sayang sekali keinginan itu tidak terlaksana. Syarat Fahmi bersedia maju, yang untuk memproleh dukungan sudah dikampanyekan oleh kawan-kawan, jika dia tidak bersaing dengan Gus Dur. Tapi agaknya Gus Dur masih ingin melanjutkan duduk sebagai ketua umum PBNU untuk kali ketiga. Lebih disayangkan lagi karena kemudian tersebar fitnah seolah-olah tampilnya Fahmi mewakili unsur kekuasaan. Karena tudingan semacam itu jauh panggang dari api, selesai berbicara empat mata dengan Gus Dur sehari sebelum acara pemilihan pengurus baru dalam muktamar, Fahmi kembali ke Jakarta meninggalkan Cipasung, Tasikmalaya. Ia meninggalkan surat untuk disampaikan kepada muktamirin, bahwa dirinya tidak bersedia dicalonkan dalam pemilihan pengurus PBNU .
Kendati dikecewakan begitu dalam, bukan soal tidak jadinya maju dalam pencalonan dan tidak menjadi ketua umum, Fahmi dengan caranya sendiri tetap berkhidmat kepada NU. Tali silaturahim yang telah terjalin dengan siapapun tidak pernah terputus.
Allahummaghfirlahu warhamhu, wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Amin.
Kamis, 21 Februari 2008
Ibu dari Banyak Pemuda Pergerakan
Oleh M Said Budairy
Ibu Sholihah Wahid Hasyim bukanlah hanya ibu putera-puterinya saja, melainkan juga "ibu" dari banyak orang-orang muda pergerakan. Karena kedudukannya yang seperti itu maka saya sempat kenal baik dan cukup dekat dengan beliau. Awal kenalnya semenjak saya masih sangat muda.
..isi dari sebagian artikel..
Di akhir l950-an saya mendampingi kakek saya Alwi Murtadho di Bandung. Beliau menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia. Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden , saya bergabung ke kakak saya Abdullah Alwi Murtadho atau biasa disingkat namanya menjadi AA Murtadho di Jakarta. Kakak saya menjadi Ketua Departemen Luar Negeri PP Pemuda Ansor, sambil melanjutkan studinya di Akademi Dinas Luar Negeri. Tempat tinggalnya di salah satu ruangan kantor Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor, Jalan Pegangsaan Timur 46, Jakarta Pusat. Tidak terlalu jauh dari kediaman Ibu Sholihah Wahid Hasyim, yang beralamat di Taman Matraman 8, Jakarta Pusat.
Komunitas Pegangsaan Timur 46, di luar dinas kegiatan PP Pemuda Ansor, terdiri dari penghuni tetap dan musiman. Mereka adalah Pak Munasir (KH Munasir Ali, ayahandanya Rozy Munir), Pak Ud (KH Yusuf Hasyim, pengasuh pesantren Tebuireng), mBah Tohir (seorang bekas pejuang Hisbullah anak buah Pak Munasir), AA Murtadho, Sa'dullah dan Mahfudz (kedua orang terakhir pegawai sekretariat PP Pemuda Ansor) dan bertambah satu lagi, saya sendiri. Yang aktif sebagai anggota komunitas tapi bukan penghuni tetap maupun musiman adalah Mahbub Djunaidi, Chalid Mawardi dan Aminuddin Aziz.
Terbawa oleh para senior itulah saya jadi punya hubungan dan kedekatan dengan Ibu Wahid, bahkan juga menjadi kenal secara pribadi dengan ayahanda beliau, KH Bisri Sansuri, Wakil Rais Aam PBNU.
Berpindah dari sebuah kota kecamatan, Singosari - Malang, yang penduduknya saling mengenal satu sama lain sehingga kontrol sosial dalam kehidupan sehari-hari begitu ketat, maka ketika masuk ke kota metropolitan Jakarta rasanya seperti masuk ke hutan rimba. Secara psikologis ada kebutuhan punya pengayom. Status sebagai warga NU sangat membantu, karena banyak teman sesama warga NU. Apalagi ketika sudah mulai beraktivitas sebagai pengurus organisasi, merasa tidak asing lagi. Tapi terbukanya hubungan kekeluargaan dengan keluarga Ibu Wahid, menjadikan kehidupan saya di kota sebesar Jakarta terasa "aman".
Dengan putera-puteri Ibu Wahid mulanya tidak saling kenal. Mereka lebih muda dari pada saya dan teman-teman, disamping mereka belum menerjunkan diri dalam kegiatan keorganisasian NU. Sekali-sekali jika berkunjung saya memperhatikan. Seorang di antaranya, laki-laki bertubuh kecil, bekacamata baca dan warna kulitnya gelap, suka ambil posisi menyendiri dan terus asyik membaca tanpa memperdulikan sekitarnya. Ternyata itulah yang kemudian dikenal sebagai Dr. Umar Wahid, ketua tim dokter kepresidenan Abdurrahman Wahid.
Di antara kelebihan di rumah Ibu Wahid adalah makanannya. Selalu tersedia makanan Jawa Timur dan enak-enak. Khususnya jika berkunjung lebaran, macam-macam kuwe tersedia di meja, disajikan secara prasmanan. Selain itu juga tersedia ketupat dengan segala uba rampai yang membikin nikmat.
Ketika keluarga saya, istri dan anak-anak, sudah pindah ke Jakarta, hubungan makin dekat. Kebetulan istri saya juga aktivis organisasi Ikatan Pelajar Puteri NU semasa masih bersekolah dan melanjutkan kegiatannya di Jakarta di lingkungan Fatayat, kemudian Muslimat NU. Kami menempati sebuah rumah di gang Moh Ali, Galur, kawasan Senin, tidak terlalu jauh dari rumah kediaman Sekjen CC PKI, DN Aidit. Lingkungan tempat tinggal saya terkenal partai komunisnya kuat.
Tahun 1965 ketika pecah peristiwa G30S, saya menjabat sebagai Wakil Sekjen Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor disamping menjadi anggota DPR-GR/MPRS. Tanggal 30 September 1965 Pucuk Pimpinan Ansor rapat di kantor PBNU Kramat Raya, yang lokasinya berseberangan dengan kantor CC PKI. Rapat baru berakhir lepas tengah malam. Di jalan-jalan yang saya lewati untuk pulang suasanya biasa-biasa saja, sepi karena memang saatnya semua orang tidur lelap. Padahal saat itulah sejumlah jenderal terbunuh. Paginya, tanggal 1 Oktober l965, saya mendengar pengumuman lewat radio dari Letnan Kolonel Untung tentang telah terbentuknya Dewan Revolusi, ditangkapnya beberapa jendral dan seterusnya. Saya memperkirakan telah terjadi perebutan kekuasaan. Tapi tidak jelas oleh siapa kok malah ada jenderal yang ditindak. Maka saya segera menghubungi kawan-kawan, dan kami bertemu di rumah Jalan Cut Mutiah nomor 1, tempat yang biasa dihuni oleh Pak Munasir dan Pak Yusuf Hasyim. Pertemuan berjalan singkat dan kami sepakat untuk menyebar guna memperoleh informasi lebih jauh. Informasi yang dapat memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebagai dasar menetapkan sikap PP Pemuda Ansor. Kami berjanji bertemu lagi malam hari di Klender, Jakarta Timur, di rumah ketua Ansor DKI Jakarta. Klender waktu itu terasa sebagai bagian dari "luar kota." Semalaman kami terus memantau perkembangan melalui berbagai saluran, termasuk RRI. Mahbub Djunaidi masih menyempatkan diri pergi ke percetakan Duta Masyarakat untuk memeriksa persiapan penerbitan koran tersebut. Tapi, ketika kembali ke Klender, Mahbub bilang Duta Masyarakat dilarang terbit.
Dalam situasi seperti itu telah diambil inisiatif "mengamankan" keluarga-keluarga yang berada di wilayah kurang aman dan ditinggal suaminya beraktiivitas di luar rumah. Istri dan anak-anak saya dijemput oleh Rozy Munir dan Salahuddin Wahid, lalu dibawa pindah ke kediaman Ibu Wahid, yang kebetulan berdampingan dengan kediaman Kolonel Alamsyah, pejabat penting Angkatan Darat, sehingga sebuah kendaraan lapis baja mengawal di depan rumahnya. Keluargaku tinggal beberapa waktu lamanya di kediaman Bu Wahid bersama dengan satu keluarga Drs. Djawahir. Sementara orang-orang muda lainnya datang pergi saja di rumah itu.
Pagi tanggal 2 Oktober kami masuk kota lagi, langsung ke tempat kediaman Ibu Wahid Hasyim. Koran pagi, kecuali beberapa yang tidak terbit seperti Duta Masyarakat, memperjelas peta keberpihakan. Koran-koran kiri seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur, tampak jelas dari politik pemberitaan dan editorialnya berpihak pada gerakan 30 September itu.Terbunuhnya beberapa orang jenderal sudah tersiar luas. Kediaman Ibu Wahid kemudian disediakan untuk kami jadikan "posko" sekaligus tempat "pengungsian".
Di "pos komando" di Taman Amir Hamzah itu tersusun pernyataan PBNU menanggapi peristiwa tragis dalam sejarah negeri ini. Setelah memperoleh persetujuan eksponen-eksponen NU yang berwenang, yang membubuhkan tandatangannya di atas pernyataan tersebut, kami sepakat untuk mengumumkannya lewat RRI. Untuk merealisasikannya kami jemput Mas Subchan ZE, wakil ketua IV PBNU, yang sehari sebelumnya memimpin rapat umum menggerakkan massa menentang gerakan 30 September. Kami ajak beliau ke gedung RRI untuk mengumumkannya. Tadinya kami ingin mas Subchan langsung membacakan pernyataan itu. Tapi oleh beberapa pertimbangan dari pihak RRI, petugas RRI yang membacakan selengkap teksnya.
Untuk mengusir rasa sunyi yang mencekam dalam perjalanan pulang dari gedung RRI, di Jakarta ketika itu diberlakukan jam malam mulai pukul 18.00, kami sempat riuh bercanda. Kami antar kembali Mas Subchan ke tempat kediamannya. Sesampai kembali di kediaman Ibu Wahid Hasyim, kami masih sempat mendengarkan pembacaan pernyataan PBNU melalui RRI siaran pukul 21.00. Isi pernyataan antara lain NU menegaskan keyakinannya, bahwa otak dan penggerak G-30-S adalah PKI. Sebab itu NU meminta kepada Presiden Soekarno agar membubarkan Partai Komunis Indonesia.
Tahun l971 keluarga saya ditimpa musibah. Anak saya nomor tiga, Hisyam Said, dikhitan. Kakek neneknya dari kampung datang ke Jakarta untuk mendampingi sang cucu yang dikhitan itu. Semuanya berjalan lancar. Tapi neneknya, ibu istri saya bernama Siti Mudawari jatuh sakit. Saya bergegas ke kediaman Ibu Wahid, mencari Dr. Umar Wahid untuk meminta bantuannya. Tapi ketika saya masih dalam perjalanan, istri saya sudah menelpon ke kediaman Ibu Wahid memberitahukan bahwa ibu mertua saya itu telah meninggal dunia. Ibu Wahid ganti yang bergegas ke rumah saya. Segala urusan jenazah, mulai dari memandikan sampai mengkafani, semuanya di bawah supervisi Ibu Wahid.
Kenangan lainnya dengan Bu Wahid adalah ketika pada tahun l985 saya dan istri menunaikan ibadah haji. Hari-hari terakhir di Madinah istri saya sakitnya nggak sembuh-sembuh. Dokter klotter (kelompok terbang) telah mengusahakan penyembuhan dengan berbagai obat yang tersedia. Tapi akhirnya sang dokter bilang, nanti sesampai kembali di Jakarta akan sembuh sendiri. Nyatanya sesudah beberapa waktu sampai kembali di Jakarta, penyakit itu tak juga mau pergi. Rupanya Bu Wahid mendengar keadaan itu. Beliau datang ke rumah, duduk disamping istri saya di kamar tidur berlama-lama sambil menghibur si sakit.
Panjangnya masa hubungan kekeluargaan dengan keluarga Bu Wahid, berlanjut hubungan kami dengan putera-puterinya cukup dekat. Di antara putera-puterinya itu tadinya ada yang enggan berkiprah di lingkungan NU. Saya sempat mendorong-dorong agar jangan demikian. Saya pikir keluarga ini adalah keluarga pendiri Nahdlatul Ulama. Tentu kurang layaklah jika para orang tuanya sudah tiada, anak cucunya tidak berkeinginan ikut mengurusi jamiah diniah Islamiah Nahdlatul Ulama dengan badan-badan otonomnya, yang sudah dengan susah payah dibangun oleh para sesepuhnya.
Bu Wahid sebagai ibu putera-puterinya, sebagai janda berusia 30 tahun, memberikan teladan ketegaran, ketekunan dan semangat tak kunjung padam jauh sebelum orang membicarakan tentang kesetaraan jender. Saya sempat mendengar sendiri hembusan dari tarikan nafas panjang Bu Wahid yang mensyukuri "berakhirnya" beban tanggung jawab membesarkan anak, ketika menyelenggarakan pernikahan Hasyim Wahid, putera bungsunya. Dibantu menantunya Hamid Baidlowi, suami Aisyah Wahid, hasil didikan Bu Wahid adalah deretan putera puterinya, Abdurrahman Wahid, Aisyah Wahid, Salahuddin Wahid, Umar Wahid. Mereka semua agaknya tidak asing lagi dalam percaturan kebangsaan kita. Masih ada Lily Khodidjah dan Hasyim Wahid, yang perannya bebas dari ekspose media massa.
Untuk mengabadikan nama Wahid Hasyim pernah dibentuk Yayasan Wahid Hasyim. Programnya terutama melakukan upaya-upaya pendidikan dan pengembangan sosial budaya dan keagamaan. Yayasan keluarga ini memasukkan sebagai pengurus beberapa orang bukan keluarga hubungan darah. Mereka adalah pak Munasir Ali, mas Soetjipto Wirosardjono, Fahmi Saifuddin dan Said Budairy. Pengurus selebihnya putera-puteri Bu Wahid sendiri.
Dalam kepengurusan Muslimat NU, banyak "monumen" yang dirintis oleh atau setidaknya bu Wahid terlibat dalam pembangunannya. Antara lain panti asuhan yatim piatu, rumah bersalin, rumah jompo, gedung serba guna Muslimat NU dan sebagainya.
Bu Wahid juga sangat berjasa dalam menyelamatkan NU dari perpecahan yang berkepanjangan. Ketika terjadi kubu-kubuan Cipete dan Situbondo akibat tidak berfungsinya NU sebagai jamiah diniah Islamiah yang telah melakukan fusi politik di dalam Partai Persatuan Pembangunan, sempat sulit sekali tokoh-tokohnya dapat dipertemukan untuk mencari solusi. Bu Wahid bertindak sebagai pengundang pertemuan para kiai dan tokoh-tokoh NU dari kedua kubu. Tempat pertemuan di rumah KH Hasyim Latief, Jalan Wonocolo VI No. 661, Sepanjang - Sidoardjo. Pertemuan berhasil dilangsungkan, tokoh-tokoh utama NU waktu itu bertemu. Peristiwa tersebut membikin mulus jalannya muktamar NU ke 27 yang memutuskan kembali ke Khittah NU 1926.
Bu Wahid, Fahmi Saifuddin dan saya pernah beberapa kali berbincang-bincang soal jalannya organisasi NU di bawah ketua umumnya Abdurrahman Wahid. Beliau tidak segan-segan mengemukakan kritiknya. Jika tidak berkenan menyampaikan langsung kepada Gus Dur, Bu Wahid menyampaikan kepada kami. Pernah juga titip-titip agar dapat membantu Gus Dur dengan mengingatkannya jika mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak semestinya. Saya pernah menyatakan kesediaan, sambil memberi catatan jika tidak berhasil saya akan kembali lewatkan beliau. Bu Wahid menyetujui. Tapi ada pesan khusus yang disampaikan Bu Wahid hanya kepada Fahmi Saifuddin berkaitan dengan Gus Dur. Fahmi tidak pernah melupakannya dan berusaha untuk terus menunaikan pesan tersebut.
Bu Wahid seorang ibu yang telah berhasil menjadikan anak-anaknya bukan orang-orang sembarangan, menjadikan dirinya "ibu" dari banyak pemuda-pemuda pejuang, berhasil memberi keteladanan kepada sesamanya, telah berbuat banyak untuk hal-hal yang dapat membantu dan dapat dinikmati masyarakat. Semoga memperoleh maghfiroh dan diterima segala amal baiknya oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Amin.
Selengkapnya..
Rabu, 20 Februari 2008
Slamet Effendy Yusuf -----------36 Tahun Bersahabat
Oleh M. Said Budairy
..isi sebagian dari artikel..
Suratkabar Pelita mulai terbit tahun 1974, beberapa bulan setelah beberapa koran lain ditutup gara-gara dianggap terlibat peristiwa Malari. Yang dibredel termasuk koran tempat saya bekerja, harian Pedoman yang dipimpin H. Rosihan Anwar. Saya yang wartawan oleh Pak Rosihan diminta menjadi pemimpin perusahaan harian Pedoman.
Pelita mendapat izin terbit secara istimewa. Tanpa Surat Izin Terbit (SIT) tertulis. Hanya nomor SIT-nya saja yang saya terima lewat telpon malam hari untuk ditampilkan di koran, sebelum besoknya terbit. Direktur Jendral Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Departemen Penerangan waktu itu dipegang oleh Sukarno, SH. Opsus yang dipimpin Pak Ali Murtopo sedang aktif dan sangat berperan ketika itu. Deretan pimpinan harian Pelita adalah Pemimpin Umumnya Drs. Syah Manaf, Pemimpin Redaksinya Drs. Barlianta Harahap dan selain saya Wakil Pemimpin Redaksi satunya lagi Drs. Darussamin. Kedua teman di pimpinan redaksi itu sebelumnya tidak berprofesi sebagai jurnalis. Pelita diterbitkan dengan maksud menjadi medianya kalangan Islam di partai yang manapun.
Kedatangan orang muda yang bertubuh agak kurus dan belakangan saya ketahui bernama Slamet Effendi Yusuf itu bermaksud melamar menjadi wartawan Pelita. Sebagai salah seorang deklarator berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), mengetahui yang datang mantan Ketua PMII Cabang Yogya, segera saja saya tertarik. Saya perhatikan curriculum vitaenya, usianya 12 tahun lebih muda, saya lahir l936 dia lahir l948. Dia memang punya minat besar pada dunia jurnalistik. Tapi pengalamannya baru sebatas bersentuhan dengan penerbitan majalah kampus.
“Mas, tahun depan satu lagi yang akan melamar mohon diterima,” ungkapnya begitu saya setujui dia bekerja di harian Palita. “Siapa orangnya?”, tanya saya. “Ichwan Sam, mas. Dia sedang akan menyelesaikan kuliahnya”.
Slamet cepat belajar. Awal-awal dia menulis berita yang kemudian saya periksa, saya bilang kepadanya, “Intro yang biasa di majalah jangan digunakan menjadi lead sebuah berita. Alenea pertama berita biasa disebut lead gak boleh berkepanjangan tapi unsurnya diusahakan lengkap, sehingga cepat tertangkap oleh pembaca berita apaan itu”. Sesudah itu praktis hampir tidak pernah lagi memerlukan bimbingan teknis dari saya.
Kantor Redaksi Pelita berada di Jl. Asemka, Jakarta Kota. Para wartawannya kebanyakan bertempat tinggal di Jakarta Pusat atau Selatan. Jaraknya cukup jauh. Saya sudah punya mobil Fiat 1100 tua. Kalau pulangnya bersamaan, ada saja wartawan yang mau numpang. Termasuk kadang-kadang Slamet Efendi.
Suatu hari sepertinya Slamet ingin juga bisa mengemudikan mobil. Zaman itu manalah ada mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga bermobil. Motor sajapun barangkali tidak banyak. Waktu dalam perjalanan pulang kantor suatu hari, ketika saya mendahului mobil lain di jalan yang agak sempit, tiba-tiba Slamet yang duduk disebelah saya nanya, “Mas, mengira-ngira supaya tidak nyerempet di jalan sempit begitu itu caranya bagaimana ya ?”. Saya tersenyum sambil memperkirakan apa yang sedang didambakan Slamet. “Dalam keadaan seperti ini, yang kerja sudah feeling, perasaan, Met. Sudah bukan lagi ukuran meter”, jawab saya.
Dari tahun l974 – 1977 koran Pelita tidak bisa berkembang. Meskipun dipaksakan tirasnya tidak lebih dari belasan ribu saja. Tiap bulan merugi selama 3 tahun itu. Saya pikir penyebabnya karena posisinya tidak jelas. Koran pemerintah, yang terus diguyur dana, bukan. Koran ummat, dalam arti bisa sepenuhnya melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, termasuk melakukan kritik terhadap kebijakan penguasa, menyajikan berita dan pendapat secara obyektif, juga tidak mungkin. Akhirnya, menjelang Pemilu l977 Pelita banting setir . Blak-blakan memberitakan dan mengemukakan pendapat atas kecurangan-kecurangan penguasa dalam usaha memenangkan peserta Pemilu Golkar. Sempat menjadi berita utama pembakaran rumah-rumah pekerja perkebunan di Jawa Timur gara-gara tidak mau memilih Golkar. Cukup menggegerkan berita yang saya turunkan tentang kematian Kiai Hasan Basri dari Brebes yang dikabarkan bunuh diri dengan cara menerjunkan diri ke dalam sumur, pada hal kematiannya juga terbunuh karena tidak mau mengajak pengikutnya memilih Golkar.
Kepala Staf atas nama Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo melayangkan surat kepada pimpinan Pelita. Surat bernomor 135/KOPKAM/VI/1977 tertanggal 4 Juni 1977 mencantumkan perihalnya: Peringatan Keras.
Saya simpan baik-baik surat itu. Ada 3 poin penting:
Pertama, “Sehubungan dengan berita yang dimuat pada harian Saudara tertanggal 8 Mei 1977, antara lain mengenai pembakaran 150 buah rumah di daerah Asembagus (JATIM), kasus kematian K. HASAN BASRI di Brebes maka dapat disimpulkan bahwa pemberitaan tersebut memutar balikkan fakta, berkelebihan, bersifat menghasut dan mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.”
Kedua, “Karenanya pemberitaan tersebut dapat mempengaruhi Stabilitas Nasional/Keamanan dan Ketertiban masyarakat pada umumnya, maka dengan sangat menyesal kami memberikan peringatan keras kepada Saudara.”
Ketiga, “Guna mendapatkan penyelesaian menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka masalah tersebut kami teruskan kepada Jaksa Agung RI dan KAPOLRI. “
Ketika peringatan Kas Kopkamtib berikut ancamannya itu tersiar di berbagai surat kabar, termasuk di harian Pelita, saya tidak sangka berdatangan begitu banyak surat dari masyarakat Situbondo/Jawa Timur dan Brebes. Isinya pernyataan bersedia menjadi saksi hidup jika Pelita diadili. Selain surat pernyataan, rupanya ada yang diam-diam memotret ketika terjadi pembakaran rumah-rumah di Asembagus. Foto-fotonya dikirimkan juga ke Pelita. Kita tahu di Asembagus ada desa Sukorejo. Di desa itu berdiri pesantren besar Salafiyah Syafiiyah dengan pemimpin kharismatiknya KH Asad Syamsul Arifin, salah seorang tokoh besar NU yang sebagai ahlul halli wal aqdi mengangkat Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU tapi kemudian dia sendiri mufarraqah. Pengaruh Kiai Asad sangat besar. Dan ummatnya menjadi pendukung kuat Partai Persatuan Pembangunan (PPP), karena Partai NU telah berfusi politik ke dalamnya.
Dengan menjadikan Pelita koran yang melakukan kritik terbuka atas kecurangan-kecurangan penyelenggaraan Pemilu, tirasnya melonjak. Sempat mencapai 200.000 di masa itu. Tiras tersebut terus dipertahankan, tapi toh merosot juga setelah usainya Pemilu . Namun tidak sampai merugi malah bisa menyimpan sisa hasil usaha walau tidak banyak.
Adapun ancaman Kas Kopkamtib urusan pemberitaan Pelita yang dituduh menghasut, memutar balikkan fakta dan berlebihan dengan menyerahkan kepada Jaksa Agung dan Kapolri, agaknya sekedar menakut-nakuti saja. Tidak ada tindak lanjutnya.
Slamet masih terus berada di Pelita. Koran tetap jalan stabil tidak membesar tapi juga tidak terus merosot. Lima tahun kemudian, menjelang Pemilu l982, menteri penerangan-nya Pak Ali Murtopo. Menjelang pemungutan suara Pemilihan Umum angota DPR-RI tahun l982 itu, Pak Ali Murtopo mengumpulkan para pimpinan surat kabar. Saya hadir mewakili Pelita. Melalui forum itu ada permintaan agar suratkabar hanya menyiarkan hasil penghitungan suara yang berasal dari Lembaga Pemilihan Umum (sejenis KPU-nya) saja. Tidak dari sumber lain. Saya tidak bisa terima, tapi dalam suasana seperti itu dan berhadapan dengan Jendral Aspri Presiden dan Kepala Operasi Khusus, saya tidak bisa buka mulut.
Kenapa saya tidak bisa terima, karena sebagai anggota DPR-GR yang ikut menyusun UU tentang Pemilu saya hafal betul bahwa ketentuannya penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sifatnya rapat terbuka untuk umum. Kenapa lantas tidak boleh menjadikannya sumber berita.
Saya hubungi H.J. Naro yang menjadi Ketua Umum PPP untuk memberi tahukan perkara itu dan sikap saya. Dia mendukung untuk tetap menyiarkan dari sumber TPS. Maka pada penerbitan pada hari seusai pemungutan suara sehari sebelumnya, Pelita tetap menyiarkan hasil penghitungan suara dari beberapa sumber. Sore harinya saya terima telpon dari Departemen Penerangan, diminta datang ke kantor itu pada pukul 19.00. Pada kesempatan itulah Dirjen PPG Sukarno, SH sambil menyatakan bukan dia sendirian yang memutuskan, menyampaikan surat pembredelan harian Pelita. Tidak ada hak membela diri, langsung divonis. Saya segera ke kantor redaksi menyelenggarakan rapat dadakan dan menyampaikan kabar buruk pembredelan itu kepada teman-teman. Kerja redaksi sudah separoh jalan, terpaksa dihentikan sama sekali. Ketika saya beritahu Naro dengan maksud mencari pembelaan, dia cuma bilang, “Mungkin karena Pelita dianggap sudah banyak melakukan pelanggaran”.
Bukan saja korannya dibredel, pribadi sayapun dibredel. Setelah melewati beberapa bulan tidak terbit, ada rapat di kediaman Aspri Presiden Jendral Sudjono Humardani, dihadiri pemimpin umum dan pemimpin redaksi Pelita serta Menpen yang sudah ganti orang, yang memutuskan Pelita boleh terbit lagi tapi dengan pimpinan baru. Saya “diangkat” menjadi staf ahli Pemimpin Umum, yang dalam praktek tidak punya meja, tidak jelas tugasnya dan tidak digaji. Saya faham, sebetulnya saya dipecat. Saya digusur dari profesi saya sebagai wartawan. Saya tidak memperoleh hak apapun atas pemecatan berselubung pengangkatan itu.
Di luar urusan kerja jurnalistik, Slamet Effendi Yusuf bersama Ichwan Sam dan Masdar Farid Masudi, para alumni IAIN Yogya itu, terlibat dalam aktivitas orang-oang muda NU yang resah melihat perkembangan NU.
Sejak tahun l973 begitu berfusi politik dalam PPP, “jenis kelamin” NU tidak jelas lagi. NU sebagai partai politik sudah tidak lagi, karena organisasi politik yang dibenarkan keberadaannya hanya Golkar, PPP dan PDI. Fusi politik NU ke dalam PPP bersamaan dengan penegasan NU kembali sebagai organisasi kemasyarakatan Islam. Tetapi dalam praktek cuma aktifitas politik yang dikerjakan para tokohnya. Program jamiyah, seperti menggalakkan kegiatan pendidikan, dakwah, kegiatan sosial ekonomi dan keagamaan, tidak juga disentuh dengan semestinya.
Ketika itu sampai-sampai kantor NU “pindah” ke Gedung DPR-RI. Para anggota pengurus besar hariannya hari-hari di situ, karena hampir semua menjadi anggota DPR. Kantor benerannya di Kramat Raya 164 dibiarkan merana. Halaman gedung itu menjadi pangkalan gerobak dorong pedagang kaki lima. Suasana dalam gedung menjadi seperti “rumah hantu”, sarang laba-laba menghiasi berbagai bagian ruangan.
Kantor NU ramai dan sibuk hanya ketika menyongsong pemilihan umum. Ketika memasuki fase penyusunan calon untuk pemilu, ormas ini tiba-tiba saja persis seperti parpol, repot banget menyusun daftar calon. Orang-orang berdatangan dari daerah. Khawatir susunan calon di daerahnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Padahal ujung-ujungnya penentunya Dewan Pimpinan Pusat-PPP. Bahkan, dalam prakteknya sebagian sangat kecil orang DPP saja yang paling menentukan. Mereka yang punya peluang berselingkuh dengan kekuasaan untuk menyingkirkan orang yang tidak diinginkan penguasa. dari daftar calon jadi
Zaman itu zaman pemilu mudah ditebak. Siapa berada dalam daftar calon antara nomor satu sampai nomor sekian di propinsi A, misalnya, maka pasti akan terpilih menjadi anggota legislatif.
Ketika PBNU sedang porak poranda itulah seumlah orang-orang muda yang sangat concern terhadap hidup dan berkembangnya NU, berusaha beraktifitas bersama membangun NU. Slamet Efendi termasuk di antara mereka.
Dr. Fahmi Saifuddin yang juga dosen UI menjadi motor gerakan ini. Bagaimana cara dia melakukan, antara lain seperti yang saya alami. Pagi sekali, sebelum ke kampus, dia datang ke rumah saya. Waktu pagi yang pendek itu, saya juga sedang aktif-aktifnya ikut memimpin harian Pelita sehingga juga harus ngantor, dimanfaatkannya untuk membangun semangatku kembali mikiri dan ngurusi NU lagi. “Nggak cukuplah mas membantu NU dengan hanya menulis berita tentang NU doang,” ujarnya suatu hari. Begitu gigihnya dia, akhirnya saya terlibat penuh. Bahkan juga menjadi fasilitatornya. Diskusi dan rapat-rapat diselenggarakan paling sering di rumah saya. Kelompok yang dibangun Fahmi itu akhirnya dikenal dengan nama Kelompok G, mengambil nama jalan (lama) tempat rumah saya berada. Nama kelompok itu Fahmi juga yang mencanangkan.
Dalam kelompok ini selain Fahmi dan saya, ada Umar Basalim, Slamet Effendi, Ichwan Sam, Masdar Farid Masudi. Belakangan kami ajak Abdurrahman Wahid. Salahuddin Wahid telah ikut serta sejak agak awal menangani publikasinya, Jurnal Khittah. Macam-macam ikhtiar kami dilakukan.
Awal-awalnya, selain fakta-fakta di depan mata kami, gagasan ini muncul dari beberapa warga NU yang merasa prihatin terhadap perkembangan NU waktu itu. Dalam berbagai percakapan yang mereka lakukan sejak akhir 1970-an, mulai kelihatan berbagai hal yang dapat disebut sebagai “sebab-musabab” mundurnya NU di semua lini perjuangannya. Begitu juga banyak hal yang sudah tercapai terbengkalai. Yang di tangan terlepas, sementara tangan seolah-oleh menggapai-gapai hendak mencari sesuatu yang sebenarnya bukanlah masalah pokok bila dilihat dari maksud dan tujuan kelahiran NU di tahun l926.
Masalah yang dirasakan oleh beberapa warga NU itu tenyata juga dirasakan warga NU yang lain. Bukan saja yang ada di Jakarta tetapi juga yang berada di daerah-daerah. Pada lapisan pimpinan maupun warga biasa. Di antara merekalah yang pada tanggal 12 Mei l983 berkumpul di Jakarta. Karena mereka terdiri 24 orang, maka disebut “Majlis 24”. Mereka berfikir, bicara dan akhirnya memutuskan untuk membentuk satu tim, yang kemudian disepakati namanya: Tim Tujuh Untuk Pemulihan Khittah NU 1926.
Mereka yang berada dalam “Majlis 24” adalah K.H. Sahal Mahfudz, H. Mustofa Bisri, Dr. Asep Hadipranata, H. Mahbub Djunaidi, H. Abdurrahman Wahid, Drs.H.M. Tholchah Hasan, Drs. H.M Zamroni, dr. H. Muhammad Thohir, dr. Fahmi D. Saifuddin, H.M. Said Budairy, Abdullah Syarwani, S.H., H.M. Munasir, K. Muchith Muzadi, H.M. Saiful Mudjab, Drs. H. Umar Basalim, Drs. H. Cholil Musaddad, Ghaffar Rahman, S.H., Drs.H. Slamet Effendy Yusuf, Drs. Muhammad Ichwan Sam, Drs.H. Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, H.M. Danial Tanjung, A. Bagdja dan Drs. Masdar Farid Mas’udi.
Adapun yang disepakati duduk dalam Tim Tujuh Untuk Pemulihan Khittah NU 1926 adalah, H. Abdurrahman Wahid dan Drs. H. Zamroni sebagai ketua dan wakil ketua, H.M. Said Budairy sebagai sekretaris dengan anggota-anggota H. Mahbub Djunaidi, dr. H. Fahmi D. Saifuddin, H.M. Danial Tanjung dan A. Bagdja.
Eksistensi Tim ditentukan 5 bulan sejak terbentuknya, bila apa yang diamanahkan oleh “Majlis 24” mengenai penyusunan konsep telah selesai dikerjakan.
Slamet Effendi Yusuf tidak termasuk dalam Tim Tujuh, tapi dia menjadi sosok penting yang membuat Tim dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tepat waktu. Sementara sebagian anggota Tim ada yang tidak punya waktu untuk dapat melaksanakan perannya.
Proses yang ditempuh di antaranya ialah, melakukan komunikasi melalui surat menyurat serta melalui media yang diterbitkan Tim, jakni “Jurnal Khittah”. Hampir semua yang dilakukan Tim , termasuk pertemuannya dengan semua tokoh teras NU (pengurus maupun bukan pengurus), diskusi dengan berbagai lapisan warga NU, serta berbagai kegiatan secara teratur telah disampaikan kepada “Majlis 24” maupun berbagai eksponen NU di hampir semua daerah di seluruh Indonesia. Bahkan juga dikomunikasikan kepada warga NU yang berada di luar negeri.
Eksponen-eksponen NU yang memperoleh bahan-bahan dari Tim Tujuh, berupa catatan tentang pertemuan “Majlis 24” serta “Jurnal Khittah” atau surat-surat yang dibuat Tim Tujuh, ternyata memberikan tanggapan yang amat menggembirakan. Banyak yang merespon dengan sumbangan-sumbangan pikiran yang sangat berharga bagi pekerjaan yang dilakukan oleh Tim. Menggunakan semua bahan-bahan yang terkumpul itulah kemudian konsep awal “Kembali ke Khittah NU l926” disiapkan oleh Slamet Effendi Yusuf. Setelah dimatangkan bersama, konsep “Kembali ke Khittah NU 1926” masuk dalam agenda dan disetujui oleh Munas Alim Ulama NU yang berlangsung pada tanggal 13 – 16 Rabiul Awal 1404 H bertepatan dengan tanggal 18 – 21 Desember 1983, diselenggarakan di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Keputusan Munas Alim Ulama itu kemudian, sesuai dengan ketentuan organisasi NU, disahkan sebagai keputusan Muktamar NU XXVII, yang berlangsung setahun kemudian di tempat yang sama.
NU melalui perjalanan up and down-nya telah berkembang seperti sekarang. Konsisten tidak menjadi partai politik, tidak punya hubungan organisatoris dengan partai manapun dan terus menggalakkan missi seperti digariskan pada awal berdirinya. Dan terus bertahan dan berkembang sampai sekarang. Berangkat dari konsep kesepakatan kembali ke khittah 1926 itu.
Para yang terlibat dalam “Majlis 24” sebagian telah berpulang ke rahmatullah. Di antaranya ialah motor awalnya gerakan dr. H. Fahmi Saifuddin. Juga Drs.H. Zamroni, H. Mahbub Djunaidi, Drs. Musa Abdillah, H.M.Munasir.
Sebagian lagi melanjutkan peran pengabdiannya. Kiai Sahal Mahfudz menjadi Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI, yang Sekretaris Umum-nya Ikhwan Sam. Kiai Tholhah Hasan selesai menjadi Menteri Agama sekarang Wakil Rais Aam PBNU. Kiai Mustofa Bisri menjadi salah seorang Mustasyar PBNU, sambil terus menjadi kiai seniman. Masdar Farid Mas’udi menjadi salah seorang ketua Tanfidiah PBNU. Mustofa Zuhad menangani bidang ekonomi yang terkait juga dengan NU. Umar Basalim menjadi Rektor Universitas Nasional di Jakarta. Abdullah Syarwani baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Besar RI di Lebanon. Abdurrahman Wahid selesai sebagai Presiden RI lantas menjadi penentu dalam Partai Kebangkitan Bangsa. Slamet Effendi melanjutkan karirnya sebagai politisi di DPR-RI.
Slamet Effendi Yusuf bertemu saya pertama kalinya ketika masih berusia 29 tahun. Sekarang saya diberi kesempatan ikut mengisi buku biografi ini dalam rangka memperingati usianya yang genap 60 tahun. Sudah 39 tahun bersahabat. Di luar ketemu dalam banyak kegiatan, sedikitnya setiap lebaran keluarga Slamet Effendi datang bersilaturahmi ke rumah. Terakhir sekalian membawa cucunya. Kunjungannya selalu bersama Dra. Aniroh, satu-satunya istrinya. Saya sampaikan selamat genap berusia 60 tahun, semoga panjang usia dan bermanfaat. Amin.
Selengkapnya..